BAB
I
PENDAHULUAN
1.LATAR BELAKANG
Dasar Hukum waris
positif yang berlaku di indonesia Adalah hukum adat, hukum Islam dan hukum
warisan Belanda atau civil law yang banyak termuat dalam KUHPerdata.
Hukum adat merupakan norma-norma yang tumbuh dan berkembang secara alamiah di
dalam pergaulan hidup masyarakat Indonesia. Hukum tersebut merupakan refleksi
dari sistem budaya yang dimiliki oleh masyarakat setempat. Sedangkan hukum Islam adalah hukum yang bersumber dari dan
menjadi bagian dari agama Islam. Konsepsi Hukum
Islam yaitu dasar dan kerangka hukumnya ditetapkan oleh Allah, tidak hanya
mengatur hubungan manusia dengan manusia lain dan benda dalam masyarakat, tetapi
juga hubungan-hubungan lainnya karena manusia yang hidup di dalam masyarakat
itu mempunyai berbagai hubungan. Sistem hukum lainnya adalah sistem hukum Barat
yang terdapat pada KUHPerdata atau Burgerlijk Wetboek (BW). Indonesia
sebagai bekas jajahan Belanda pernah memberlakukan KUHPerdata sebagai sumber
hukum atas dasar asas concordance, di mana Negara jajahan harus
menerapkan hukum sesuai dengan apa yang diterapkan di negaranya (Belanda).
Pandangan hukum
adat terhadap hukum kewarisan sangat ditentukan oleh persekutuan hukum adat itu
sendiri. Beberapa persekutuan itu diantaranya pertama persekutuan genealogis,
berdasarkan keturunan dan persekutuan territorial berdasarkan kependudukan
yakni persekutuan hukum yang dipengaruhi baik faktor geneologis maupun faktor
teritorial. Dalam persekutuan yang geneologis, anggota-anggotanya merasa diri
terikat satu sama lain, karena mereka berketurunan dari nenek moyang yang sama,
sehingga diantara mereka terdapat hubungan keluarga. Sementara persatuan hukum
territorial anggota-anggotanya merasa terikat satu sama lain,karena mereka
bertempat kedudukan di suatu daerah yang sama. Persekutuan semacam ini disebut
desa atau gampong di Aceh dan sebagian daerah melayu Sumatera. Sedangkan yang
terkhir persekutuan hukum yang dipengaruhi territorial dan geneologis terdapat
di beberapa daerah seperti Mentawai yang disebut Uma, di Nisas disebut Euri di
Mingkabau disebut dengana Nagari dan di Batak disebut Kuria atau Huta.
Dalam persekutuan
geneologis ini terbagi pula menjadi tiga tipe tata susunan yaitu patrilineal
(kebapaan), matrilineal (keibuan) dan parental (bapak-ibu). Menurut sistem
patrilineal ini keturunan diambil dari garis bapak, yang merupakan pancaran
dari bapak asal dan menjadi penentu dalam keturunan anak cucu. Dalam hal ini
perempuan tidak menjadi saluran darah yang menghubungkan keluarga. Wanita yang
kawin dengan laki-laki ikut dengan suaminya dan anaknya menjadi keluarga
ayahnya. Sistem pertalian seperti ini terjadi di Nias, Gayo, Batak dan sebagian
di Lampung, Bengkulu, Maluku dan Timor. Dalam hukum waris, persekutuan ini
lebih mementingkan keturunan anak laki-laki daripada anak perempuan.
Sementara
matrilineal adalah keturunan yang berasal dari Ibu, sehingga yang menjadi
ukuran hanyalah pertalian darah dari garis ibu yang menjadi ukuran dan
merupakan suatu persekutuan hukum. Wanita yang kawin tetap tinggal dan termasuk
dalam gabungan keluarga sendiri, sedangkan anak-anak mereka masuk dalam
keturunan ibunya. Sistem matrilineal ini terdapat di Minangkabau, Kerinci, Semendo
dan beberapa daerah Indonesia Timur. Sesuai dengan persekutuannya, matrilineal
lebih menghargai ahli waris dari pihak perempuan daripada ahli waris dari pihak
laki-laki. Selama masih ada anak perempuan, anak laki-laki tidak mendapatkan
tirkah.
Sedangkan yang
terakhir, pertalian darah dilihat dari kedua sisi, bapak dan ibu serta nenek
moyang. Kedua keturunan sama-sama penting bagi persekutan ini. Keturunan
berdasarkan bapak-ibu ini menurut Nani Soewondo merupakan garis keturunan yang
paling tua umurnya dan paling umum di Indonesia. Salah satu daerah yang
menganut sistem ini adalah Jawa. Menurut Hazairin dalam masyarakat bila
diperhatikan setiap orang berhak mengambil garis keturunannya ke atas maupun
ibu atau ayahnya. Dengan demikian, bagi orang Jawa keturunan bukan saja melalui
anaknya yang laki-laki atau perempuan saja, tetapi juga sampai keturunan yang
lahir dari cucunya laki-laki maupun perempuan sehingga dapat dipahami bahwa
saluran-saluran daerah dalam masyarakat Jawa biasa menjadi penghubung keturunannya
dan Menghasilkan keluarga bagi dirinya. Dengan sitem persekutuan ini, maka
hukum waris pun tidak hanya menganggap kepada satu jenis kelamin anak saja
tetapi baik anak perempuan maupun anak laki mempunyai hak atas harta warisan.
Dalam hukum waris Islam,
penempatan seseorang menjadi ahli waris didasarkan pada adanya perkawinan,
hubungan darah dan memerdekakan hamba (saat ini sudah tidak banyak dibahas lagi
kecuali dalam fiqh konvensional). Adanya perkawinan akan menimbulkan hak waris
antara suami dan istri, sedangkan hubungan darah akan menyebabkan hak
mendapatkan waris bagi kedua orang tua dan anak-anak. Jika ahli waris ada maka
yang menjadi ahli waris hanyalah suami atau istri, anak, ibu dan bapak.
Perbedaan yang menonjol dari hukum waris lainnya, dalam hukum Islam bagian anak
perempuan mendapatkan setengah dari anak laki-laki. Titik singgung antara hukum
Islam dengan hukum adat terletak pada pandangan adanya “keistimewaan” antara
anak laki-laki dan perempuan. Dalam hukum adat dengan sistem matrilineal, lebih
mengedepankan anak perempuan, sementara hukum waris dalam madzhab sunny (madzhab
Hanafi,Maliki, Syafi'i, dan Hambali) cenderung bersifat patrilineal. Sementara
itu Hazairin yang berusaha menggagas fikih dengan corak keIndonesiaan berusaha
membangun hukum waris dengan corak bilateral.
Perbedaan yang cukup tajam antara hukum waris
Islam dan KUHPerdata anak laki-laki berbanding sama dengan anak perempuan.
Adapun tertib keluarga yang menjadi ahli waris dalam KUHPerdata, yaitu: Isteri
atau suami yang ditinggalkan dan keluarga sah atau tidak sah dari pewaris. Ahli
waris menurut undang undang atau ahli waris ab intestato berdasarkan
hubungan darah terdapat empat golongan, yaitu:
a. Golongan pertama, keluarga dalam garis
lurus ke bawah, meliputi anak-anak beserta keturunan mereka beserta suami atau
isteri yang ditinggalkan / atau yang hidup paling lama. Suami atau isteri yang
ditinggalkan / hidup paling lama ini baru diakui sebagai ahli waris pada tahun
1935, sedangkan sebelumnya suami / isteri tidak saling mewarisi;
b. Golongan kedua, keluarga dalam garis lurus
ke atas, meliputi orang tua dan saudara, baik laki-laki maupun perempuan, serta
keturunan mereka. Bagi orang tua ada peraturan khusus yang menjamin bahwa
bagian mereka tidak akan kurang dari ¼ (seperempat) bagian dari harta
peninggalan, walaupun mereka mewaris bersama-sama saudara pewaris;
c.
Golongan ketiga, meliputi kakek, nenek, dan leluhur selanjutnya ke atas dari
pewaris;
d.
Golongan keempat, meliputi anggota keluarga dalam garis ke samping dan sanak
keluarga lainnya sampai derajat keenam.
Dari ketiga sistem
pewarisan dari hukum positip diatas terdapat perbedaan prinsip yang sangat
mendasar dari ketiga sistem hukum diatas.
2.RUMUSAN MASALAH
Berdasarkan latar
belakang diatas kami menemukan beberapa rumusan masalah sebagai bahan analisa
kami sebagai berikut:
1.apakah
prinsip-prinsip yang terkandung dalam hukum waris positif di indonesia?
2.bagaimanakah
perbandingan ketiga hukum waris positif tersebut?
BAB II
PEMBAHASAN
1.
Prinsip
– prinsip hukum waris positif yang ada di Indonesia
Secara
umum, pengertian hukum waris yang didasarkan pada pasal 830 Kitab Undang-
Undang
hukum perdata dan dapat disimpulkan bahwa Hukum waris adalah suatu rangkaian
ketentuan-ketentuan, dimana, berhubung dengan meninggalnya seseorang,
akhibat-akhibatnya di dalam bidang kebendaan, diatur, yaitu: akhibat dari
beralihnya harta peninggalan dari seorang yang meninggal, kepada ahli waris
baik di dalam hubungannya
Antara
mereka sendiri maupun dengan pihak ke tiga. Terdapat 3 sistem hukum waris
positif yang terdapat di Indonesia yaitu :
a)
Hukum
waris adat
Hukum
waris adat adalah hukum adat yang memuat garis-garis ketentuan tentang sistem
dan azas hukum waris, tentang harta warisan, pewaris dan waris serta cara
bagaimana harta warisan itu dialihkan penguasaan dan pemilikannya dari pewaris
kepada waris. Hukum waris adat sebenarnya adalah hukum penerusan harta kekayaan
dari suatu generasi
Kepada
keturunannya.
Adapun pendapat para ahli hukum adat tentang hukum waris adat adalah sebagai
berikut:
1.
Ter
Haar menyatakan: Hukum waris adat adalah aturan-aturan hukum yang mengenai cara
bagaimana dari abad ke abad penerusan dan peralihan dari harta kekayaan yang berwujud
dan tidak berwujud dari generasi ke
generasi”
2. Menurut Wirjono, pengertian warisan
ialah bahwa warisan itu adalah soal apakah dan bagaimanakah berbagai hak-hak
dan kewajiban-kewajiban tentang kekayaan seseorang pada waktu ia meninggal
dunia akan beralih kepada orang lain yang masih hidup.
Jadi menurut wirjono, istilah kewarisan diartikan sebagai cara penyelesaian bukan diartikan bendanya. Kemudian cara penyelesaian itu sebagai akhibat dari kematian seseorang. Sehingga waris dapat dilakukan setelah ada orang (pewaris) yang meninggal.
Jadi menurut wirjono, istilah kewarisan diartikan sebagai cara penyelesaian bukan diartikan bendanya. Kemudian cara penyelesaian itu sebagai akhibat dari kematian seseorang. Sehingga waris dapat dilakukan setelah ada orang (pewaris) yang meninggal.
3.
Soepomo yang menyatakan: “Hukum adat waris
memuat peraturan-peraturan yang mengatur proses meneruskan serta mengoperkan
barang-barang harta benda dan barang-barang yang tidak berwujud benda
(immateriele goederen) dari suatu angkatan manusia (generatie) kepada
turunannya. Proses ini telah mulai dalam waktu orang tua masih hidup. Proses
tersebut tidak menjadi akuut oleh sebab orang tua meninggal dunia. Memang
meninggalnya bapak atau ibu adalah suatu peristiwa yang penting bagi proses
itu, akan tetapi sesungguhnya tidak mempengaruhi secara radikal proses
penerusan dan pengoperan harta benda dan harta bukan benda tersebut”
Dengan
demikian hukum waris itu memuat ketentuan-ketentuan yang mengatur cara
penerusan dan peralihan harta kekayaan dari pewaris kepada para warisnya. Cara
penerusan dan peralihan harta tersebut dapat berlaku sejak pewaris masih hidup
atau setelah pewaris maninggal dunia. Bentuk peralihannya dapat dengan cara
penunjukan, penyerahan kekuasaan atau penyerahan pemilikan atas bendanya oleh
pewaris kepada waris.
Prinsip
hukum waris adat menurut Djojodigoeno adalah air mengalir ke bawah, atau
menggunakan teori keran air. Teori ini menyebutkan kalau setiap ada kematian
maka terbukalah warisan. Air selalu mengalir dari tempat yang tinggi menuju
tempat yang rendah, sama dengan warisan menurut hukum adat warisan jatuh dari
suatu generasi ke generasi berikutnnya berarti ada perbedaan waktu antara satu
generasi dengan generasi lainnya , dari generasi yang lebih tua ke generasi
yang muda. Air tidak akan naik lagi walaupun keran sudah tertutup atau tidak
ada ahli warisnnya, air akan mencari keran yaang lain atau mencari ahli waris
lainnya yang lebih berhak. Apabila terjadi kasus dimana sang anak meninggal
terlebih dahulu dari pada orang tuannya maka warisan tersebut jatuh ke tangan
anak si ahliwaris tersebut dengan bagian sebesar yang harusnnya
di terima orang tuannya yang meninggal
tersebut.
Sistem keturunan dilihat dari segi garis keturunan maka perbedaan
lingkungan hukum adat itu dapatdi bagi menjadi
3 kelompok yaitu :
a. Sistem
patrilinial (kelompok garis kebapakan )
Sistem keturunan yang ditarik menurut
garis bapak, dimana kedudukan pria lebih menonjol pengaruhnya dari kedudukan
wanita di dalam pewarisan. Suku-suku yang bergaris keturunan kebapakan antara
lain adalah Gayo, Alas, Batak, Nias, Lampung, Buru, Seram, Nusa
Tenggara dan irian.
b.
Sistem
matrilineal (kelompok garis keibuan)
Sistem keturunan yang ditarik menurut
garis ibu, dimana kedudukan wanita lebih menonjol pengaruhnya dari kedudukan
pria di dalam pewarisan. Suku-suku yang bergaris keturunan ini
adalah minangkabau, enggano.
c.
Sistem Parental atau bilateral (kelompok garis
ibu – bapak )
Sistem yang ditarik menurut garis orang
tua, atau menurut garis dua sisi (bapak-ibu), dimana kedudukan pria dan wanita
tidak dibedakan di dalam pewarisan. Adapun suku yang bergaris
Keturunan ini adalah Jawa, Sunda,
Madura, dan Melayu, sistem pewarisan individual
Sistem pewarisan dimana setiap waris mendapatkan pembagian untuk dapat menguasai dan atau memiliki harta warisan menurut bagiannya masing-masing. Setelah harta warisan itu diadakan pembagian maka masing-masing waris dapat menguasai dan memiliki bagian harta
Sistem pewarisan dimana setiap waris mendapatkan pembagian untuk dapat menguasai dan atau memiliki harta warisan menurut bagiannya masing-masing. Setelah harta warisan itu diadakan pembagian maka masing-masing waris dapat menguasai dan memiliki bagian harta
Warisannya untuk diusahakan dan di
nikmati.
Sistem pewarisan kolektif Pengalihan
kepemilikan harta peninggalan dari pewaris kepada waris sebagai kesatuan yang
tidak terbagi-bagi penguasaan dan pemilikannya, melainkan setiap waris berhak
untuk mengusahakan menggunakan atau mendapat hasil dari harta peninggalan itu.
Sedangkan cara pemakaiannya diatur bersama atas dasar musyawarah dan mufakat
oleh semua anggota kerabat yang berhak atas harta peninggalan dibawah bimbingan
Kepala kerabat.
b) Hukum
Waris Barat atau Hukum Waris Perdata
Di dalam
sistem Hukum Perdata Barat, Hukum Waris di muat dalam Buku II KUH Perdata
mengenai Benda. Hal ini terjadi karena pembuat undang undang telah memasukan
hak mewaris sebagai hak kebendaan dan memberlakukan hak ahli waris sebagai
suatu hak kebendaan.
Penempatan
hukum Waris dalam Buku II tersebuat adalah merupakan akibat dari pengaruh Hukum
Romawi dan Hukum Germania pada hukum perdata Perancis (code
Civil),
BW, dan KUH Perdata Indonesia.
Hukum waris
menurut Pitlo adalah kumpulan aturan hukum yang mengatur mengenai kekayaan
karena meninggalnnya seseorang yaitu Perpindahan kekayaan yang di tinggalkan
oleh si meninggal dan akibat dari perpindahan ini bagi orang-orang yang
memperolehnnya, baik dalam hubungan di antara mereka maupun hubungan antara
mereka dengan pihak ke 3.
Prinsip-prinsip
kewarisan menurut sistem hukum barat adalah :
·
Pewarisan terjadi karena
meninggalnya pewaris dengan sejumlah harta;
·
Hak-hak dan kewajiban dibidang harta
kekayaan “beralih” demi hukum. Hal ini berdasarkan Pasal 833 KUHPerdata, yang
menimbulkan hak untuk menuntut (Heriditatis Petitio);
·
Yang berhak mewaris menurut UU
adalah mereka yang memiliki hubungan darah, hal ini berdasarkan Pasal 832
KUHPerdata;
·
Harta tidak boleh dibiarkan tidak
terbagi; dan
·
Setiap orang cakap untuk mewaris
(terkecuali ketentuan pada Pasal 838 KUHPerdata).
c) Prinsip-prinsip Hukum Waris Islam
Hukum Waris menduduki tempat amat penting dalam
Hukum Islam karena setiap orang pasti akan mati maka di butuhkan aturan untuk
mengatur perpindahan harta yang di tinggalkan kepada orang orang yang berhak
atas harta tersebut. Sumber-sumber Hukum Waris Islam adalah :
1. Al-Qur’an ( surat An-Nisa dan surat
Al-Anfal ). Dalam surat An-Nisa menegaskan tentang kuatnnya hubungan kerabat
karena pertalian darah, dan pernyataan tersebut di perkuat lagi oleh surat
Al-Anfal ayat 75 yaitu Hak kerabat karena pertaian darah, sebagian lebih di
utamakan dari sebagian yang lain.
2.
Sunnah
Rasul
Meskipun Al-Quran menyebutkan secara
terperinci ketentuan-ketentuan bagian ahli waris maka Sunnah Rasul menyebutkan
pula hal-hal yang tidak di sebutkan dalam Al-Quaran.
3.
Ijtihad
Beberapa hal masih di perlukan adannya
ijtihad, yaitu terhadap hal-hal yang tidak di tentukan di dalam Al-Quran dan
Sunnah rasul.
Hukum waris islam adalah Hukum yang mengatur
segala sesuatu yang berkenaan dengan peralihan hak dan atau kewajiban atas
harta kekayaan seseorang setelah dia meninggal dunia kepada ahli warisnnya.
Prinsip-prinsip Hukum Waris Islam
a. Prinsip Ijbari, yaitu bahwa peraliban
harta seseorang yang telah meninggal dunia kepada yang masih hidup berlaku
dengan sendirinya.
b. Prinsip Individual, yaitu bahwa harta
warisan dapat dibagi-bagikan kepada ahli waris untuk dimiliki secara
perseorangan.
c. Prinsip Bilateral, artinya bahwa baik
laki-laki maupun perempuan dapat mewaris dari kedua belah pihak garis
kekerabatan, atau dengan kata lain jenis kelamin bukan merupakan penghalang
untuk mewarisi atau diwarisi.
d. Prinsip kewarisan hanya karena
kematian, yakni bahwa peralihan harta seseorang kepada orang lain dengan
sebutan kewarisan berlaku setelah yang mempunyai harta tersebut meninggal
dunia. Dengan demikian, tidak ada pembagian warisan sepanjang pewaris masih
hidup.
Selain prinsip prinsip di atas ada pula beberapa prinsip pewarisan menurut
hukum Islam yaitu:
1.
Hukum waris
Islam menempuh jalan tengah antara pemberi kebebasan penuh kepada orang untuk
memindahkan harta peninggalannya dengan jalan wasiat kepada orang yang
menghendaki dan melarang sama sekali pembagian harta peninggalan yang tidak
mengakui hak milik perorangan, yang dengan sendirinnya tidak mengenal sistem
pewarisan.
2.
Warisan
dalah ketetapan hukum yang mewariskan tidak dapat menghalangi ahli waris dari
haknnya atas warisan, dan ahli waris berhak atas harta warisan tanpa perlu
kepada pernyataan menerima dengan sukarela atau atas keputusan hakim.
3.
Warisan
terbatas dalam lingkungan keluarga, dengan adannya hubungan perkawinan atau
karena hubungan nazab/keturunan yang sah.
4.
Hukum waris
islam lebih cenderung untuk membagikan harta warisan kepada sebanyak mungkin
ahli waris, dengan memberikan bagian-bagian tertentu kepada beberapa ahli
waris.
5.
Hukum waris
islam tidak membedakan hak anak-anak atas harta warisan, hak anak-anak yang
sudah besar, yang masih kecil dan yang baru saja lahur, semuannya berhak atas
harta warisan orang tuannya. Tetapi perbedaan besar kecilnnya kewajiban yang
harus di tunaikan dalam keluarga.
6.
Hukum Waris
Islam membedakan besar kecil bagian-bagian tertentu ahli waris diselaraskan
dengan kebutuhannya dalam hidup sehari-hari, disamping memandang jauh dekat
hubungan dengan mayit (Ahmad Azhar Basyir,1977).
2.
Perbandingan Hukum
Waris Positif yang ada di Indonesia
Seperti
yang penulis telah sampaikan di atas, Hukum Waris Positif yang terdapat di
Indonesia ada 3 yaitu Hukum Waris Adat yang berlaku untuk golongan Pribumi,
Hukum waris Perdata yang berlaku untuk golongan Timur Asing dan Hukum Waris
Islam yang berlaku untuk umat Islam, dan apabila seseorang berdada pada 2 atau
tiga sistem hukum tersebut maka ia dapat melaksanakan Choice of law atau
memilih sistem hukum manakah yang akan ia pakai.
Perbandingan
Hukum waris positif yang ada di Indonesia jika di lihat dari unsur-unsur suatu
pewarisan yaitu Pewaris, Warisan, dan Ahli waris adalah :
1) Pewaris
b. Dalam
hukum waris adat si pewaris tidak harus meninggal untuk membagi harta
warisannya atau ketika meninggal harta warisan tersebut belum tentu bisa di
wariskan karena harta tersebut tidak di bagikan melainkan hannya di operkan ke
generasi berikutnnya.
c. Dalam
hukum waris islam pewarisan baru dapat terjadi jika ada yang meninggal terlebih
dahulu, atau warisan akan terbuka jika seseorang telah meninggal.
d. Dalam
Hukum Waris Perdata untuk adannya pewarisan harus ada yang meninggal terlebih
dahulu karena pewarisan menurut BW yaitu mengenai perpindahan dan akibat hukum
dari kekayaan orang yang sudah meninggal.
2) Warisan
a. Hukum
Waris Adat : Harta warisan dapat berupa Imateriin dan Materiil, Imateriil
adalah harta yang tidak dapat di nilai dengan uang( Jabatandan Title). Harta
warisan yang berdifat Imateriil dapat di cabut haknnya jika ahli waris tersebut
melanggar ketentuan ketentuan adatnnya. Di dalam waris adat di kenal adannya
harta warisan atau harta yang di tinggalkan oleh pewaris yang menjadi Hak para
ahli warisnnya termasuk pemberian- pemberian kepada anaknnya selama ia masih
hidup , dan Harta Peninggalan harta yang secara nyata di tinggalkan si pewaris
pada saat ia meninggal.
b. Hukum
Waris Islam : Hannya harta yang bersifat Materiil sajalah yang dapat di
wariskan atau hannya yang dapat di nilai dengan uang yang dapat di wariskan,
dan harta warisan tersebut harus diuangkan dan secepatnnya di bagi agar tidak
tejadi peristiwa saling memakan harta anak yatim.
c. Hukum
Waris Perdata: Hal-Hal yang dapat di wariskan adalah yang dapat di nilai dengan
uang, menurut pasal 833 yang dapat di wariskan adalah hak milik atas segala
barang, segala Hak dan segala piutang si yang meninggal namun pasal ini kurang
menyebutkan kata hutang, karena hutang menurut sistim kewarisan perdata dapat
di wariskan juga.
a. Hukum
Waris Adat : Ahli waris dalam hukum adat adalah generasi berikutnnya dari si
pewaris dan di sesuaikan dengan pola sistem kekerabatannya, jika polannya
adalah parental maka kedudukan antara laki-laki dengan perempuan adalah
seimbang, jika polannya Patrilineal maka silsilah yang di lacak dari keturunan
laki lakim dan jika Matrilineal adalah kebalikan dari Patrilineal.
b. Hukum
waris Islam : Ahli waris hannyalah yang
mempunnyai ikatan darah sesuai dengan surat An-Nisa dan Al-Anfal, dan yang
mempunnyai hubungan perkaeinan dan Nasab.
c. Hukum
waris Perdata : Menurut BW pasal 836
syarat agar ia dapat menjadi ahli waris apabila ia telah lahir dan hidup namun
ada pengecualiannya di ps.2 BW bayi yang masih ada dalam kansungan di anggap
telah ada apabila kepentingannya menghendaki, kepentingan yang di maksud di
sini adalah dalam hal pewarisan.
BAB III
KESIMPULAN
Dalam hukum waris adat di Indonesia itu
mempunyai corak sendiri berbeda dengan hukum waris islam atau hukum waris
barat. Peralihan harta kekayaan pada hukum waris adat tidak memandang pewaris
sudah meninggal dunia atau masih hidup. Sehingga hukum waris adat dipandang
sebagai peralihan harta kekayaan dari suatu generasi kepada keturunannya tanpa
memperhitungkan sudah meninggal atau masih hidupnya pewaris. Berbeda dengan hukum Waris Islam dan Hukum
Waris Perdata pewarisan terjadi sebagai akibat dari adannya kematian.
DAFTAR
PUSTAKA
Bakry,
Hasbullah. 1990. Pedoman Islam di
Indonesia. Jakarta: Penerbit Universitas
Indonesia (UI Press).
Hadikusuma,
Hilman. 1990. Hukum Waris Adat. Bandung:
PT. Citra aditya Bakti.
Soekanto, Soejono.1986. Hukum Adat Indonesia. Jakarta: CV. Rajawali.
Sudarsono. 1991. Hukum Waris Dan Sistem Bilateral. Jakarta: PT. Melton Putra.
1 komentar:
Did you realize there is a 12 word phrase you can tell your crush... that will induce intense feelings of love and instinctual appeal for you buried inside his heart?
Because hidden in these 12 words is a "secret signal" that fuels a man's instinct to love, adore and care for you with all his heart...
===> 12 Words Who Fuel A Man's Love Response
This instinct is so built-in to a man's brain that it will make him try better than ever before to build your relationship stronger.
As a matter of fact, fueling this all-powerful instinct is absolutely important to getting the best possible relationship with your man that the second you send your man a "Secret Signal"...
...You will immediately find him expose his soul and heart for you in such a way he haven't expressed before and he'll recognize you as the only woman in the galaxy who has ever truly interested him.
Posting Komentar