Kebebasan beragama merupakan hal yang harus dipenuhi bagi setiap manusia,karena itu merupakan hak manusia yang sangat essential yang harus didapat dari saat menjadi manusia. Prof. Dr. K. H. M. Rasjidi yang terdapat dalam buku yang berjudul Kebebasan Beragama yang diterbitkan oleh Fajar Shadiq pada tahun 1979.Kebebasan beragama atau religious freedom adalah salah satu daripada kata-kata yang dalam perkembangannya telah kehilangan artinya yang bersifat ilmiah dan pasti. Biasanya kebebasan beragama disalahpahamkan dan dianggap sama dengan kemerdekaan berpikir (freedom of thought), padahal orang yang menganjurkan kemerdekaan berpikir belum tentu setuju dengan kebebasan beragama. Kemerdekaan berpikir adalah dasar filsafat yang menganggap dirinya mempunyai kebenaran mutlak sedangkan kebebasan beragama hanya merupakan suatu prinsip yuridis yang mengatur hubungan luar antara beberapa individu-individu atau kelompok.Kebebasan beragama, menurut Rufini (La liberté religiosa, 1901, terjemahan Inggris 1912) berarti: Menciptakan suatu kondisi dalam masyarakat di mana seorang manusia dapat menuntut tujuan-tujuan spiritual yang tertinggi dengan tidak dihalangi orang lain. Dengan begitu maka syarat dapat terciptanya kemerdekaan beragama, di samping adanya pemerintah dan lebih dari satu agama dalam negara, adalah pendidikan moral yang cukup berkembang,sehingga kepribadian individu dalam masyarakat tersebut dapat dianggap mampu untuk memilih dan menentukan nasibnya sendiri.Menurut gambaran tersebut di atas, kebebasan beragama nampak dalam tiga aspek. Pertama:otonomi individu untuk menentukan agama yang ia sukai; kedua: otonomi suatu kelompok masyarakat agama untuk melakukan hal-hal yang mengenai masyarakat tersebut; dan ketiga: persamaan hak-hak agama dari segi hukum dan pemerintah.
HAM mestilah menjadi jaminan alternatif lain terhadap jaminan kebebasan . Pada saat ini kebebasan beragama di Indonesia pun terusik misalnya, pemenjaraan terhadap Usman Roy dan Lia Aminuiddin sebagai pelanggaran yang dilakukan oleh pemerintah karena telah mencampuri urusan keberagamaan umat tidak terjaminnya kenyamanan Jamaah Ahmadiyah dari serangan fisik dan teror yang dilakukan masyarakat Islam pada umumnya Jika ditinjau lebih jauh, tentu masih banyak pelanggaran-pelanggaran lain yang dapat ditemukan, seperti kasus yang dialami oleh Ahmad Mushadieq pimpinan al-Qiyadah al-Islamiyah terjadinya kekerasan/penusukan terhadap pengurus Gereja Huria Kristen Batak Protestan (HKBP) di Kota Bekasi, Jawa Barat(kompas.com), dinilai sebagai teror dan tindakan tidak berperikemanusiaan. dianggap gagal menjamin kebebasan beragama dan berlakunya hukum sehingga tidak tercipta rasa aman dan adil
Dasar hukum yang menjamin kebebasan beragama di Indonesia ada pada konstitusi, yaitu Pasal 28E ayat (1) Undang-Undang Dasar Tahun 1945 (“UUD 1945”):
“Setiap orang bebas memeluk agama dan beribadat menurut agamanya, memilih pendidikan dan pengajaran, memilih pekerjaan, memilih kewarganegaraan, memilih tempat tinggal di wilayah negara dan meninggalkannya, serta berhak kembali.”Pasal 28E ayat (2) UUD 1945 juga menyatakan bahwa setiap orang berhak atas kebebasan meyakini kepercayaan. Selain itu dalam Pasal 28I ayat (1) UUD 1945 juga diakui bahwa hak untuk beragama merupakan hak asasi manusia. Selanjutnya Pasal 29 ayat (2) UUD 1945 juga menyatakan bahwa Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduknya untuk memeluk agama.Akan tetapi, hak asasi tersebut bukannya tanpa pembatasan. Dalam Pasal 28J ayat (1) UUD 1945 diatur bahwa setiap orang wajib menghormati hak asasi orang lain. Pasal 28J ayat (2) UUD 1945 selanjutnya mengatur bahwa pelaksanaan hak tersebut wajib tunduk pada pembatasan-pembatasan dalam undang-undang. Jadi, hak asasi manusia tersebut dalam pelaksanaannya tetap patuh pada pembatasan-pembatasan yang diatur dalam undang-undang.
Lukman Hakim Saifuddin dan Patrialis Akbar, selaku mantan anggota Panitia Ad Hoc I Badan Pekerja MPR, dalam persidangan di Mahkamah Konstitusi pernah menceritakan kronologis dimasukkannya 10 pasal baru yang mengatur tentang HAM dalam amandemen kedua UUD 1945, termasuk di antaranya pasal-pasal yang kami sebutkan di atas. Menurut keduanya, ketentuan-ketentuan soal HAM dari Pasal 28A sampai 28I UUD 1945 telah dibatasi atau “dikunci” oleh Pasal 28J UUD 1945.(hukumonline.com)
Surat Keputusan Bersama (“SKB”): SKB Menteri Agama, Jaksa Agung dan Menteri Dalam Negeri No. 03 Tahun 2008, No. KEP-033/A/JA/6/2008 dan No. 199 Tahun 2008 tentang Peringatan dan Perintah Kepada Penganut, Anggota dan/atau Pengurus JAI dan Warga Masyarakat Jamaah Ahmadiyah Indonesia (“SKB Tiga Menteri”).Dasar hukum penerbitan SKB Tiga Menteri tersebut antara lain:
-0 Pasal 28E, Pasal 281 ayat (1), Pasal 28J, dan Pasal 29 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) Pasal 156 dan Pasal 156a;
Undang-Undang Nomor 1/PnPs/1965 tentang Pencegahan Penyalahgunaan dan/atau Penodaan Agama jo. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1969 tentang Pernyataan Berbagai Penetapan Presiden dan Peraturan Presiden sebagai Undang-Undang (“UU Penodaan Agama”)
(legalitas.org)Dalam pasal 2 ayat (1) UU Penodaan Agama dinyatakan, dalam hal ada yang melanggar larangan penyalahgunaan dan/atau penodaan agama, diberi perintah dan peringatan keras untuk menghentikan perbuatannya itu di dalam suatu keputusan bersama Menteri Agama, Jaksa Agung dan Menteri Dalam Negeri. Contohnya adalah SKB “Perintah terhadap Penganut dan Pengurus Jemaat Ahmadiyah Indonesia” yang diterbitkan tanggal 9 Juni 2008,Menurut pasal 2 ayat (2) UU Penodaan Agama, kewenangan menyatakan suatu organisasi/aliran kepercayaan yang melanggar larangan penyalahgunaan dan/atau penodaan agama sebagai organisasi/aliran terlarang ada pada Presiden, setelah mendapat pertimbangan dari Menteri Agama, Jaksa Agung dan Menteri Dalam Negeri. Pada prakteknya, ada Badan Koordinasi Pengawasan Kepercayaan Masyarakat atau biasa disingkat Bakor Pakem. Sebenarnya yang dimaksud Bakor Pakem adalah Tim Koordinasi Pengawasan Kepercayaan yang dibentuk berdasar Keputusan Jaksa Agung RI No.: KEP004/J.A/01/1994 tanggal 15 Januari 1994 tentang Pembentukan Tim Koordinasi Pengawasan Aliran Kepercayaan Masyarakat (PAKEM).
Tim Pakem ini bertugas mengawasi aliran-aliran kepercayaan yang tumbuh dan hidup di kalangan masyarakat. Tim Pakem ini kemudian akan menghasilkan suatu surat rekomendasi untuk Menteri Agama, Jaksa Agung dan Menteri Dalam Negeri, tindakan apa yang harus diambil. Dalam kasus Jemaat Ahmadiyah Indonesia (“JAI”), misalnya, Tim Pakem memberikan rekomendasi agar JAI diberi peringatan keras sekaligus perintah penghentian kegiatan.
Dalam Penjelasan pasal 1 UU Penodaan Agama dinyatakan bahwa agama-agama yang dipeluk oleh penduduk Indonesia ialah Islam, Kristen, Katolik, Hindu, Budha dan Khong Hu Cu (Confusius). Tapi, hal demikian tidak berarti bahwa agama-agama lain dilarang di Indonesia. Penganut agama-agama di luar enam agama di atas mendapat jaminan penuh seperti yang diberikan oleh Pasal 29 ayat (2) UUD 1945 dan mereka dibiarkan keberadaanya, selama tidak melanggar peraturan perundang-undangan di Indonesia.
Disamping konstitusi dengan skala nasional yang telah diatur dalam sistem perundangan di Indonesia, jaminan kebebasan beragama di Indonesia pada dasarnya juga memiliki perlindungan hukum dengan skala internasional melalui ratafikasi Hak Azasi Manusia yang pernah dilakukan Indonesia. Jaminan tersebut tercermin dengan jelas dalam Universal Declaration of Human Right (UDHR) yang biasa disebut sebagai DUHAM (Deklarasi Universal Hak Azasi Manusia), khususnya pasal 18 yang menyatakan: Everyone has the right to freedom of tought, conscience and religion; this right includes freedom to change his religion or belief and freedom either alone or in community with others and in public or private, to manifest his religion or belief teaching, practice, worship and observance (Setiap orang berhak atas kemerdekaan berfikir, berkeyakinan dan beragama; hak ini mencakup kebebasan untuk berganti agama dan kepercayaan, dan kebebasan untuk menjalankan agama atau kepercayaan dalam kegiatan pengajaran, peribadatan, pemajuan dan ketaatan, baik sendiri maupun bersama-sama dengan orang lain, dimuka umum maupun secara pribadi).
Namun demikian, yang terjadi tidak menampakkan kondisi yang semestinya (dasolen). Pemerintah justru kurang mengambil peranan yang tepat dalam hal ini. Undang-undang yang telah dibentuk sedemikian rupa, dengan mengorbankan waktu dan tenaga, seolah tidak membuahkan hasil memuaskan, sehingga kita dapat melihat demikian banyak pelanggaran-pelanggaran yang dilakukan pada undang-undang dimaksud. Ironisnya, pemerintah terkesan menjadi kekuatan atas pelanggaran-pelanggaran tersebut (dalam kasus kebebasan beragama). Banyak argumentasi untuk menyanggah pernyataan ini; penangkapan Usman Roy dan Lia Aminuddin mengindikasikan campur tangan pemerintah; atau yang paling kontras – konon, ketika kasus Ahmadiyah tengah menghangat dalam pembicaraan publik, Menteri Agama meminta mereka untuk membentuk agama sendiri dan pemerintah dianggap telah dianggap telah gagal dalam menjaga dan memelihara kerukunan beragama dikarenakan terjadinya kekerasan/penusukan terhadap pengurus Gereja Huria Kristen Batak Protestan (HKBP) di Kota Bekasi, Jawa barat.
Krisis peranan pada gilirannya menuntut kesadaran, baik kesadaran pemerintah maupun kesadaran masayarakat. Pemerintah mestinya menyadari peranan objektif mereka begitu penting untuk mengatasi masalah kebebasan beragama dinegeri ini, bukan malah menjadi kekuatan baru untuk membelenggu kebebasan tersebut. Sebaliknya, masyarakat juga harus lebih menyadari bahwa kebebasan beragama merupakan masalah yang amat fundamental dan bersifat individual. Kita tidak dapat menghakimi keyakinan orang lain, sama halnya ketika orang lain tidak mungkin menghakimi keyakinan, inilah yang mesti kita sadari.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar