1.Pembukaan
Sejarah hubungan antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah belum menemukan bentuk yang ideal. Karena sesuai dengan yang diamanatkan oleh pasal 18 UUD 1945sebelum amandemen , hubungan ini tetap dapat menjamin tegaknya negara kesatuan Republik Indonesia.
Adapun bentuk yang belum ideal itu didasari dari kerancuan isi dasar hubungan ini. Yaitu pasal 18 UUD 1945 sebelum amandemen dan penjelasannya yang merupakan landasan hukum mengenai pemerintahan daerah,sangat tidak jelas.Bahwa Indonesia tidak mungkin memiliki daerah di dalam lingkungannya yang berbentuk negara juga. Karena di Indonesia daerah itu terdiri dari daerah besar atau propinsi dan akan dibagi lagi ke daerah kecil yang bersifat otonom atau bersifat administrativearena belaka yang lebih lanjut diatur oleh undang-undang.
Sulit untuk menafsirkan penjelasan pasal ini. yang berbunyi “oleh karena Negara Indonesia itu sudah eihed staat maka Indonesia tak akan mempunyai daerah di lingkungannya yang bersifat staat juga.daerah Indonesia akan dibagi dalam daerah propinsi dan daerah propinsi akan dibagi pula daerah-daerah yang bersifat otonom (streek dan locale (rechtsgemeenschappen)) atau bersifat daerah administrative belaka, semuanya menurut aturan yang akan ditetapkan dengan Undang undang”.didalam penjelasan ini tidak dapat dipahami dan diketahui dengan cara dan proses bagaimanakah hubungan antara pusat dan daerah itu dilaksanakan.
Dapat disimpulkan bahwa Indonesia adalah negara dengan sistem desentralistik. Yaitu adanya urusan-urusan pemerintahan yang harus didelegasikan kepada satuan pemerintahan yang lebih kecil. Dan berarti harus ada pengaturan yang jelas mengenai hubungan antara pusat dan daerah hal ini dikarenakan kemampuan Pemerintah berikut perangkatnya yang ada didaerah terbatas wilayah negara sangat luas, terdiri dari 3000 pulau besar dan kecil.pemeritah tidak mungkin mengetahui seluruh dan segala macam kepentingan dan kebutuhan rakyat yang tersebar di seluruh pelosok negara.hanya rakyat setempat yang mengetahui kebutuhan,kepentingan dan masalah yang dihadapi dan hanya mereka yang mengetahui bagaimana cara yang sebaik baiknya untuk memenuhi kebutuhan tersebut.
Sebagai negara kesatuan, Indonesia memiliki dua cara yang dapat menghubungkan antara pemerintahan pusat dengan daerah. Yaitu dengan sentralisasi, dimana wewenang yang berisi tugas, fungsi, dan segala urusan ada di pemerintah pusat. Cara kedua adalah desentralisasi, yaitu dimana segala wewenang, urusan, fungsi, dan tugas diserahkan seluas-luasnya kepada pemerintah daerah.
Pembagian urusan, tugas, dan fungsi serta tanggung jawab pemerintah pusat kepada pemerintah daerah menunjukkan ketidak mungkinan semua urusan pemerintahan diselenggarakan oleh pemerintah pusat saja. Hal ini memberikan peluang kepada pemerintah daerah untuk mengatur, mengurus, dan menyelenggarakan pemerintahan sendiri. Maka dari itu dibutuhkan pengaturan yang baik, komprehensif, dan responsif terhadap tuntutan kemandirian dan perkembangan daerah.
Karena masih ada kerancuan dalam pasal 18 UUD 1945, maka pasal ini diamandemen dengan menitikberatkan kepada garis besar hubungan antara pemerintah pusat dengan pemerintah daerah. Yang isinya adalah dalam hubungannya pemerintah pusat dengan pemerintah daerah baik yang menyangkut hubungan kewenangan maupun keuangan harus dilakukan secara adil, selaras, dan memperhatikan kekhususan dan keberagaman daerah serta harus diatur oleh undang-undang.
Sebelumnya, undang-undang No. 32 Tahun 1956 tentang Perimbangan Keuangan antara Negara dengan Daerah-daerah yang Berhak Mengurus Rumah Tangganya Sendiri dan beberapa Ketatapan Majelis Permusyawaratan Rakyat yang mengatur tentang Garis-Garis Besar Haluan Negara, Tap MPR No. IV/1973, Tap MPR No. III/1978, Tap MPR No. IV/1983, dan Tap MPR No. II/1988 secara garis besar menyatakan bahwa pengaturan hubungan keuangan antara pusat dan daerah sebagai salah satu aspek dari hubungannya, harus dapat menciptakan pemerataan pembangunan secara nasional dan mendorong percepatan kemajuan dan kemandirian daerah.
Masalah keuangan daerah merupakan salah satu aspek yang timbul dari hubungan antara pemerintah pusat dengan pemerintah daerah. Setelah ditelaah lebih dalam, ternyata sumber-sumber pendapatan yang dapat diolah dan dinikmati daerah telah ditentukan dahulu oleh pusat. Kenyataannya sumber-sumber pendapatan yang secara ekonomis kurang menjanjikan dan kurang potensial. Hal ini mengakibatkan ketergantungan keuangan daerah kepada pusat tidak semakin berkurang, tetapi semakin tinggi.disini menimbulkan kemungkinan lambatnya pembangunan daerah segala macam kebutuhan daerah harus dengan perstujuan pusat.
Tentu saja hal ini apabila dikaji dengan isi UU No. 32 tahun 1956 tidaklah sebanding dengan isi pasal-pasalnya. Karena dikhawatirkan undang-undang ini justru akan menghambat daerah dalam melepaskan ketergantungannya pada pusat. Khususnya dalam bidang pembiayaan penyelenggaraan pemerintahan daerah.
Seperti yang tercantum dalam pasal 2 undang-undang ini, yang menyebutkan pajak asli daerah (PAD) merupakan sumber keuangan daerah. Namun dalam implementasinya hal ini menunjukkan gejala sentralistik dimana pusat masih sangat dominan untuk menguasai sumber pendapatan daerah ini. sehingga kemungkinan daerah akan kesulitan untuk membiayai dirinya sendiri.
Undang-undang ini dirasa belum bisa memfasilitasi mengenai perimbangan keuangan. Lalu lahir undang-undang No. 5 Tahun 1974 dengan pasal 57 yang berisi tentang perimbangan keuangan antara pemerintah dan daerah diatur oleh undang-undang.
Seiring perkembangan jaman, undang-undang No. 5 Tahun 1974 dinyatakan tidak berlaku karena sudah ada undang-undang No. 22 Tahun 1999 tentang pemerintahan daerah, namun undang-undang mengenai perimbangan keuangan tetap belum ada.
Pasal 79 dan 80 undang-undang ini secara tegas menuntut agar dikeluarkannya pengaturan mengenai hubungan keuangan antara pusat dan daerah. Maka diundangkanlah undang-undang No. 25 Tahun 1999 tentang perimbangan keuangan antar pusat dan daerah.
Dalam perkembangannya, UU No. 22 Tahun 1999 dan UU No. 23 tahun 1999 diganti dengan UU No. 32 Tahun 2004 dan UU No. 33 Tahun 2004. Namun mengenai hubungan pusat dengan daerah telah terakomodasi didalamnya karena amandemen undang-undang dasar di tahun 2000.
Diharapkan dalam negara kesatuan yang desentralistik ini, hubungan antara pusat dengan daerah memperhatikan kekhususan dan keberagaman. Dalam hal keuangan, harus bisa selaras dan adil sesuai dengan undang-undang.
Hubungan keuangan tidak pernah ditulis dengan gamblang. Kata itu sering diganti dengan perimbangan keuangan. Upaya untuk menemukan format hubungan keuangan pemerintah pusat dengan daerah yang ideal merupakan suatu proses yang berjalan seiring perkembangan jaman dalam kerangka negara kesatuan Republik Indonesia.
Perimbangan adalah memperbesar pendapatan asli daerah sehingga lumbung keuangan daerah dapat berisi lebih banyak. Yang menjadi persoalan dasar dari perimbangan keuangan antara pusat dan daerah ini adalah pembagian sumber-sumber pendapatan maupun kewenangan kepengurusan dan pengelolaan antara pemerintah pusat dan daerah.
Sebetulnya inti dari hubungan keuangan antara pusat dan daerah adalah pengaturan masalah distribusi. Sebagai konsekuensi dari distribusi kekuasaan kepada pemerintah daerah, maka pemerintah daerah harus memiliki kemampuan keuangan yang memadai.
Ada dua cara pendekatan yang dapat dilakukan. Yaitu, pemerintah daerah diberikan seperangkat sumber-sumber keuangan lalu diberi tugas dan tanggung jawab sejauh sumber keuangan tersebut. Kedua yaitu dengan dirundingkannya dahulu urusan ini oleh pemerintah pusat bersama dengan pemerintah daerah.Dan, pemecahan masalah keuangan antara pusat dan daerah hendaknya ditujukan kepada upaya agar bantuan pusat tidak terlalu banyak menghambat kemandirian dari daerah.
2. Kajian Terotik Tentang Hubungan Pusat dan Daerah
Asas-asas Penyelenggaraan Pemerintahan daerah
Indonesia sebagai Negara yang berbentuk kesatuan mempunyai indikator yang meliputi : kedaulatan tertinggi ada pada pemerintah nasional, penyerahan suatu kekuasaan atau wewenang kepada satuan pmerintahan lokal hanya dapat dilaksanakan atas perintah undang-undang yang dibuat legislative nasional, tidak ada satuan pemerintah yang lebih rendah yang mempunyai sifat staat.
Desentralisasi yang merpakan konsekuensi pembagian kekuasaan secara vertical dilaksanakan karena alasan yuridis.yakni pasal 1 ayat 1, pasal 4 ayat 1 serta pasal 18 ayat 1 UUD 1945.
Dalam peraturan perundangan, dikenal beberapa asas penyelenggaraan pemerintahan daerah, yaitu desentralisasi, dekonsentrasi, tugas pembantuan, dan kebijaksanaan. Namun menurut Bagir Manan,desentarlisasi dan dekonsentrasi bukan merupakan asas tetapi merupakan proses atau cara penyelenggaraan sesuatu.
Pasal 18 UUD 1945 hasil amandemen memuat paradigma baru pemerintahan daerah, yaitu :
- prinsip daerah mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan menurut asas otonomi dan tugas pembantuan.
- prinsip menjalankan otonomi yang seluas-luasnya (pasal 18 ayat 5)
- prinsip kehususan dan keragaman daerah (pasal 18 ayat 1)
- prinsip mengakui dan menghormati kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak-hak tradisonalnya (pasal 18B ayat 2)
- prinsip mengakui dan menghormati pemerintah daerah yang bersifat khusus dan istimewa (pasal 18B ayat 2)
- prinsip badan perwakilan dipilih langsung dalam suatu pemilihan umum (pasal 18 ayat 3)
- prinsip hubungan pusat dan daerah harus dilaksanakan secara selaras dan adil (pasal 18 ayat 2)
Pengertian Desentralisasi dan Dekonsentrasi
Desentralisasi adalah penyerahan wewenang pemerintahan dari pemerintah kepada daerah otonom untuk mengatur dan mengurus urusan pemerintahan dalam sistem negara kesatuan republik Indonesia. Desentralisasi sendiri dilakukan karena beberapa alasan, yaitu : luasnya wilayah Indonesia, ketidakmampuan pemerintah pusat untuk menyelenggarakan semua urusan pemerintahan, keadaan Indonesia yang pluralistic, untuk terciptanya daya guna dan hasil guna pemerintahan dan pembangunan.
Sedangkan menurut The Liang Gie, desentralisasi didasarkan pada :
- mencegah kekuasaan pada satu pihak yang akan menimbulkan tirani
- tindakan pendemokrasian agar rakyat ikut serta dalam pemerintahan
- mencapai pemerintahan yang efisien.
Dekonsentrasi adalah pelimpahan wewenang dari alat kelengkapan Negara tingkatan lebih atas kepada bawahannya guna melancarkan pekerjaan di dalam melaksanakan tugas pemerintahan, misalnya pelimpahan kekuasaan dari mentri kepada gubernur, dari gubernur kepada bupati dan seterusnya.
Sehingga gubernur merupakan perangkat daerah otonom dan juga sebagai aparat pusat di daerah. Cirri-ciri dekonsentrasi adalah ;
- bentuk pemencaran adalah pelimpahan
- pemencaran terjadi kapada pejabat sendiri (perorangan)
- yang dipencarkan (bukan urusan pemerintahan) tetapi wewenang untuk melaksanakan sesuatu
- yang di limpahkan tidak menjadi urusan rumah tangga sendiri.
Memperhatikan cirri-ciri tersebut, maka dalam dekonsentrasi kekuasaan dan wewenang tetap berada dalam kekuasaan pusat, baik yang berhubungan dengan perencanaan, pelaksanaan, maupun pembiayaannya. Oleh karena itu pelaksanaan dekonsentrasi hanya sebatas pada tingkatan provinsi saja. Pelaksanaan dekonsentrasi akan mendatangkan keuntungan sebagai berikut :
1. secara politis eksistensi dekonsentrasi akan dapat mengurangi keluhan-keluhan daerah
2. secara ekonomis, aparat dekonsentrasi akan dapat membantu pemerintah dalam merumuskan perencanaan dan pelaksanaan melalui aliran informasi yang intensif yang disampaikan dari pusat ke daerah
3. dekonsentrasi memungkinkan terjadinya kontak secara langsung antara pemerintah dengan yang diperintah/rakyat.
Perbedaan doktrin mengenai desentralisasi dan dekonsentrasi menurut Bagir Manan perbedaannya adalah, bahwa desentralisasi bersifat ketatanegaraan, sedangkan dekonsentrasi bersifat kepegawaian.
Asas Otonomi
Bahwa pasal 18 ayat 2 UUD 1945 secara tegas menggariskan bahwa penyelenggaraan pemerintahan daerah adalah otonomi dan tugas pembantuan. Di dalam tata pemerintahan, otonomi diartikan sebagai mengurus rumah tangga sendiri.
Otonomi bukanlah proses pemerdekaan daerah yang dalam arti kemerdekaan (kedaulatan terpisah), atau otonomi tidak dapat diartikan sebagai adanya kebebasan penuh secara absolute dari suatu daerah karena otonomi adalah suatu proses untuk memberikan kesempatan kepada daerah untuk bisa berkembang sesuai dengan potensi yang mereka miliki.
Asas Tugas Pembantuan(medebewind)
Merupakan pelaksanaan peraturan yang disusun oleh alat perlengkapan yang lebih tinggi, oleh yang rendah. Tugas pembantuan dapat diartikan sebagai pemberian kemungkinan kepada pemerintah pusat / permerintah daerah yang tingkatannya lebih atas untuk meminta bantuan kepada pemerintah daerah/pemerintah daerah yang yang tingkatannya lebih rendah di dalam menyelenggarakan tugas-tugas atau kepentingan-kepentingan yang termasuk urusan rumah tangga daerah yang diminta bantuan tersebut, dengan adanya unsur tanggungjawab oleh satuan pemerintahan yang membantu.
Dalam menjalankan tugas pembantuan ini, urusan yang diselengarakan oleh pemerintah daerah itu masih tetap merupakan urusan satuan pemerintahan yang lebih atas, tidak beralih kepada satuan pemerintahan yang lebih bawah.
Beberapa Aspek Hubungan Antara Pusat dan Daerah
Hubungan Kewenangan
Kewenangan adalah sekaligus hak dan kewajiban, hak mengandung pengertian kekuasaan untuk mengatur sendiri dan mengelola sendiri. Sedangkan kewajiban mempunyai arti horizontal (kekuasaan untuk menyelenggarakan kekuasaan sebagaimana mestinya) dan vertical (kekuasaan pemerintah dalam suatu tertib ikatan pemerintah Negara secara keseluruhan. Pembagian kewenangan seperti ini bertujuan untuk mencegah dominasi kewenangan pemerintah yang lebih tinggi.
Dalam Negara federal, kekuasaan diberikan dari bawah ke atas sehingga bersifat buttom up, sedangkan dalam Negara kesatuan, kekuasaan diberikan dari atas ke bawah sehingga bersifat top down.
Dalam suatu fungsi pemerintahan, urusan rumah tangga daerah tidak hanya mengenai kepentingan masyarakat (publieck belang) mwlainkan juga kepentingan individu (individueel belang) dan kepentingan pemerintahan pemerintahan itu sendiri, seperti susunan organisasi, pembagian tugas di antara lingkungan jabatan pemerintahan dan lain sebagainya.
Pembagian wewenang yang tidak imbang antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah dapat menimbulkan antipati dari masyarakat daerah kepada pemerintah pusat, hal ini akan mengancam eksistensi Negara kesatuan sebagai akibat timbulnya ketidakpuasan terhadap pembangunan daerah yang bersifat sentralistik.
Dan urusan yang tetap menjadi urusan pemerintah pusat menurut UU No.32 tahun 2004 adalah politik luar negeri, pertahanan, keamanan, yustisi, moneter, fiscal, dan agama.
Hubungan Pengawasan
Tujuan pengawasan adalah untuk menjamin agar kegiatan dan aktifitas yang telah dilakukan oleh sebuah organisasi dapat dilaksanakan sesuai dengan program maupun rencana yang telah ditetapkan sebelumnya. Tujuan tersebut tidak berbeda dengan tujuan pengawasan dalam perspektif hukum terhadap penyelenggaraan pemerintahan.
Dalam penjelasan UU No. 5 tahun 1974 ditegaskan bahwa pengawasan merupakan suatu usaha untuk menjamin adanya keserasian antara penyelenggaraan tugas pemerintahan oleh daerah-daerah dan oleh pemerintah (pusat) dan untuk menjamin kelancaran penyelenggraan pemerintahan secara berdayaguna dan berhasil guna.
Dimensi pengawasan dalam hubungan antara pusat dan daerah dimaksudkan sebagai upaya untuk mengontrol penyelenggaraan pemerintah daerah. Kemandirian suatu daerah dalam suatu negara kesatuan, sangat dipengaruhi oleh system pengawasan yang dianut, makin banyak dan intensif pengawasan, makin sempit kemandirian daerah. Makin sempt kemandirian, makin terbatas otonomi. Namun, dalam otonomi, tetap harus ada pengawasan, tidak ada otonomi tanpa pengawasan.
Dalam UU No.22 tahun 1999, sangat mengendurkan system pengawasan, system yang dikenal hanya system pengawasan represif.
Hubungan Keuangan
Menurut ketentuan dalam pasal 23 UUD 1945 sebelum amandemen, dapat diinterpretasikan beberapa pengertian tentang keuangan Negara, pertama, pengertian keuangan Negara diartikan secara sempit yang hanya meliputi keuangan Negara yang bersumber pada APBN, kedua, keuangan Negara dalam arti luas yang meliputi keuangan Negara yang berasal dari APBN, APBD, BUMN, BUMD, dn pada hakekatnya seluruh harta kekayaan Negara sebagai suatu system keuangan Negara. Ketiga, dilakukan melalui pendekatan sistematik dan sosiologis, maksudnya apabila tujuan menfsirkan keuangan Negara tersebut dimaksudkan didasarkan pada system pengurusan dan pertanggungjawabannya, maka pengertian keuangan Negara tersebut adalah sempit.
Terdapat tiga skma dalam hubungan keuangan antara pusat dan daerah, pertama, dana perimbangan yakni penerimaan Negara yang dibagi antara pusat dan daerah, kedua, dana alokasi umum, daerah akan menerima sekurang-kurangnya 25% dari seluruh penerimaan APBN, setiap daerah provinsi/kota akan mnerima 10% dan 90% dari dana alokasi umum. Ketiga, dana alokasi umum, yaitu dana yang ditetapkan dalam APBN untuk daerah tertentu untuk kebutuhan khusus, jadi semacam subsidi khusus.
3.Hubungan Keuangan Antara Pusat Dan Daerah Di Beberapa Negara Inggris
Pemerintah daerah memainkan peran yang besar dan penting dalam membentuk pola hungan keuangan antara pusat dan daerah, hal ini disebabkan sumber- sumber keuangan lebih banyak terletak di daerah. Oleh karena itu para penyelenggara pemerintahan di daerah memerlukan mandate demokratis yang kuat dan memerlukan visi yang jelas dalam rangka memperkuat posisi daerah jika dihadapkan dengan pemrintah pusat.
Dengan begitu maka tujuan yang hendak dicapai oleh Pemerintahan Inggris dalam membentuk system keuangan daerah adalah terciptanya penyelengaraan pemerintahan daerah yang efektif dan efisien dengan memperhatikan pertimbangan keuangan yang didasarkan atas sumber- sumber keuangan secara adil, jujur, transparan disertai dengan pertanggung jawaban yang jelas dengan tetap dalam kerangka mendukung skala prioritas pembangunan dan tujuan nasional.
Belanda
Dalam menyelenggarakan pemerintahan, Propinsi dan Gemeente mengandalkan kepada 3 sumber pendapatan yaitu pungutan dan pajak daerah sendiri, bantuan umum dan bantuan khusus. Secara spesifik PAD merupakan hak gemeente memugut dalam batas- batas yang ditetapkan oleh badan pembentuk undang- undang, artinya daerah mempunyai kebebasan baik untuk penetapan luas/ jumlah serta tujuan pemakaian. Oleh karena itu, pungutan secara maksimal boleh sejauh untuk menutup biaya. Mengenai dana bantuan umum, bagi propinsi didasarkan pada lima kriteria yaitu, jumlahya tetap, jumlah penduduk, luas tanah dan perairan darat, panjang jalan pelayaran propinsi yang dipertimbangkan dengan factor tertentu dan perairan luar. Dan untuk mengenai dana khusus bahwa besarnya dana khusus sangat tergantung pada tingkat kelengkapan penyelenggaraan pemerintahan yang dibuat oleh Pemerintah Daerah. Diantaranya sebagai contoh perlengkapan yang dibiayai dengan cara ini adalah angkutan umum dan pendididkan. Pemerintah Pusat melakukan pengawasan atas cara dan penggunaan dana khusus.
4.Perkembangan Pengaturan Hubungan Keuangan Antara Pusat Dan Daerah.
UU No. 32 Tahun 1956 mengatur mengenai sumber keuangan daerah serta distribusi atau pembagiannya. Sumber keuangan pokok meliputi pajak daerah, retribusi daerah, pendapatan negara yang diserahkan kepada daerah, hasil perusahaan daerah, dan dalam hal-hal tertentu kepada daerah dapat diberikan ganjaran, subsidi, dan sumbangan. Seiring berjalannya waktu, undang-undang mengenai keuangan daerah pun disempurnakan terus menerus. Sampai kepada undang-undang No. 22 Tahun 1999 yang mengatur mengenai adanya dana perimbangan sebagai salah satu sumber pendapatan daerah yang merupakan perwujudan dari hubungan keuangan antara pusat dengan daerah meskipun tidak detail. Pasal 80 menyebutkan dana perimbangan itu meliputi bagian daerah yang meliputi pajak bumi dan bangunan, bea perolehan hak atas tanah, dan penerimaan dari sumber daya alam. Kemudian bagian daerah dari PBB sektor pedesaan, perkotaan, dan perkebunan serta bea perolehan hak atas tanah dan bangunan, diterima langsung oleh daerah penghasil. Dan yang diperoleh dari bagian lain diterima oleh daerah yang bersangkutan dan diatur oleh undang-undang. Persoalan yang berhubungan dengan keuangan dapat mempengaruhi baik burukya hubungan antara Pusat dan Daerah, sebab semakin besar kewenangan satuan pemerintahan atas suatu urusan pemerintahan akan berimplikasi semakin besar sumber keuangan yang dapat digali, begitu pula sebaliknya.
Ketika UUD 1945 disahkan pada tanggal 18 Agustus 1945 pengaturan mengenai hubungan keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah sama sekali tidak diatur. Bahkan dalam pasal 18 UUD 1945 yang digunakan sebagai dasar hukum yang mengatur mengenai Pemerintah Daerah tidak memberikan kejelasan yang jelas mengenai hal tersebut. Ditinjau dari sisi yuridis, sejak Indonesia merdeka tanggal 17 Agustus 1945 yang mengatur mengenai hubungan keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah hanya UU No. 32 Tahun 1956 tentang Pertimbangan Keuangan antara Negara dengan Daerah-Daerah, UU No. 25 Tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah dan kemudian diganti UU No. 33 Tahun 2004.
A. Pengaturan Hubungan Keuangan antara Pusat dan Daerah periode 1945 s/d 1956
Sebelum Indonesia merdeka pengelolaan keuangan daerah dicantumkan dalam Behears voorschiften 1936. Sebelum ada UU No. 32 Tahun 1956 hanya ada UU no. 1 Tahun 1945 dan UU No. 22 Tahun 1948, tetapi UU No. 1 Tahun 1945 tidak menyinggung tentang hubungan keuangan dan baru kemudian UU No. 22 Tahun 1948 mengatur tentang sisten hubungan keuangan yang sebenarnya ingin mengubah sistem sluitpost yaitu suatu sistem yang menggariskan bahwa kepada pemerintah Daerah diberikan tunjangan sebesar selisih antara besarnya rencana pengeluaran dan rencana penerimaan yang diajukan oleh Daerah kepada Pusat (sistem menutup keuangan). Sebelum UU No. 32 Tahun 1956 transfer dana dari Pemerintah Pusat kepada Pemerintah Daerah terjadi sangat sentralistik.
Menurut pasal 37 UU No. 22 Tahun 1948, sumber-sumber keuangan daerah meliputi:
1) Pajak daerah, termasuk retribusi daerah
2) Hasil perusahaan Daerah
3) Pajak negara yang diserahkan kepada Daerah, dll
Sedangan pada umumnya pajak daerah meliputi:
1. Pajak anjing
2. Pajak forensen ( berdiam di suatu daerah melebihi suatu jangka waktu tertentu tanpa bertempat tinggal di daerah itu)
3. Pajak hiasan kuburan
4. Pajak kendaraan tak bermotor (sepeda, becak, cikar, gerobak)
5. Pajak minuman keras
6. Pajak penerangan jalan
7. Pajak petasan/kembang api
8. Pajak reklame, mengenai reklame yang tidak dimuat dalam arian/majalah)
9. Pajak tontonan/keramaian
Pajak daerah yang tersebut di atas hanya dapat dilakukan pemungutannya oleh daerah kabupaten dan daerah kecil lainnya dan daerah Provinsi tidak boleh memungut pajak tersebut sebab hanya boleh memungut opsen (tambahan) dari pajak Pemerintah Pusat seperti opsen atas pokok pajak rumah tangga dan opsen atas pokok pajak verponding.
Menurut Soepardi, sumber-sumber pendapatan daerah dari sector retribusi yang dapat dilakukan pemungutan oleh kabupaten, kota besar, dan kota kecil meliputi:
1. Bangunan (uang garis sepadan/ijin bangunan)
2. Ijin perusahaan
3. Gedung dan tanah
4. Pasar
5. Pekuburan
6. Pelataran parker dan stasiun bus
7. Pemeriksaan air susu
8. Penambangan
9. Rumah potong hewan
10. Rumah sakit
11. Uang leges (pungutan untuk salinan warkat dan pekerjaan lain semacam itu)
12. Uang tol ( pungutan terhadap kendaraan yang melewati suatu jalan atau jembatan tertentu)
Sedangkan daerah provinsi dapat melakukan pemungutan retribusi atas pengambilan pasir, kerikil, dan mineralen tertentu serta retribusi pemakaian tanah. Pemberian subsidi oelh Pemerintah Pusat kepada Daerah dengan menggunakan sistem sluitpostdiberlakukan mulai tahun 1945 sampai tahun 1956, dan dapat dikatakan bahwa kedudukan subsidi melalui sistem sluitpost merupakan sumber utama keuangan Pemerintah Daerah. Kondisi yang seperti ini membuat daerah-daerah berada dalam posisi yang sangat sulit dalam menjalankan roda pemerintahannya.
Dengan berlakunya UUDS 1950, Menteri Dalam Negeri dengan SK Tanggal 23-4-1952 No. Des. 8/8/5 membentuk Panitia Pertimbangan Keuangan yang diketuai oleh Mr. Moh. Narsun untuk memperbaiki hubungan keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah. Dan Pada Tanggal 28 Februari 1953 panitia tersebut membuat laporan yang di dalamnya terdapat pokok-pokokpikiran sebagai dasar penyusunan peraturan tentang pertimbangan keuangan yaitu:
1. Dasar dari PemerintahDaerah yaitu kepada daerah-daerah diberikan otonomi seluas-luasnya untuk menhurus rumah tangganya sendiri yang tercantum dalam pasal 131 aat (2) UUDS RI.
2. Dasar dari pelaksanaan otonomi sebesar-besarnya yaitu oto-activiteit.
3. Undang-undang Pertimbangn Keuangan harus berlaku untuk seluruh wilayah Republik Indonesia sebagai negara kesatuan.
4. Keadaan yang nyata dari daerah yang satu dengan daerah yang lain harus dimasukkan dalam perhitungan.
5. Juga hatus diperhitungkan bahwa dalam tingkatan ada perbedaan antara daerah-daerah otonom
6. Berdasarkan perbedaan-perbedaan tersebut maka tidak dapat diadakannya undang-undang yang mengatur segala-galanya sampai yang sekecil-kecilnya
7. Maka yang diatur dalam Undang-Undang Pertimbangan keuangan ialah dasar-dasar umumnya saja
8. Dengan Peraturan Pemerintah, keadaan masing-masing daoat disesuaikandan dapat dicocokkan dengan keadaan dan perumbuhan dan perkembangan ekonomi yang cepat.
9. Dengan Peraturan Pemerintah maka akan lebih mudah dan cepat menuruti perkembangan sesuatu daerah dan soal otonomi yang belum sempurna.
10. Yang menjadi materi dari undang-undang ini, yang berhubungan dengan pajak-pajak yang ada sekaramg
11. Sumber lain juga dijamin yaitu pemberian subsidi dan sumbangan ( bijdrage)
12. Dengan memberikan sumber-sumber pendapatan sebanyak-banyaknya, maka pemberian subsidi akan dijadikan sedikit mungkin.
berdasarkan uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa hubungan keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah diciptakan sebagai upaya untuk memperbaiki sistem sluitpost. Walaupun begitu tetapi juga harus tetap memperhatikan dan mempertimbangkan hal-hal sebagai berikut:
1. Pelaksanaan otonomi seluas-luasnya
2. Mendorong timbulnya Oto-activiteit yang didukung oleh kemampuan keuangan
3. UU Perimbangan Keuangan Harus berlaku untuk seluruh Wilayah RI sebagai negara kesatuan
4. Keadaan daerah-daerah yang berlainan baik dalam bidang politis, social, ekonomi dan kebudayaan
5. Tingkatan satuan pemerintahan daerah otonom
6. UU Perimbangan Keuangan hendaknya mengatur hal-hal pokoknya saja
7. Diperlukan peraturan pelaksanaan lebih lanjut sebagai penjabaran dari peraturan pokok tentang Perimbangan Keuangan
8. Materi muatan UU tentang Perimbangan Keuangan berhubungan dengan pajak-pajak
9. Pemberian sunsidi dan sumbangan (bijdrage) masih dilanjutkan hanya saja berangsur-angsur akan untuk dikurangi
B. Perkembangan Pengaturan Hubungan Keuangan antara Pusat dan Daerah Periode 1956-1999
Pada awal tahun 1957 peimbangan keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah memasuki babak baru karena sudah diundangkannya 2 (dua) UU yang berkaitan dengan persoalan tersebut yaitu UU No. 32 Tahun 1956 dan UU No. 1 Tahun 1957 Tentang Pokok-Pokok Pemerintahan Daerah untuk menghentikan UU No. 22 Tahun 1948 yang dianggap sudah tidak sesuai dengan perkembangan ketatanegaraan. Tetapi UU No. 1 Tahun 1957 tidak memberikan kejelasan mengenai pola hubungan atau perimbangan keuangan antara Pemerintah pusat dengan Derah-Daerah yang berhak mengurus rumah tangganya. Agar dapat menjamin penyelenggaraan otonominya Pemerintah Daerah masih dimungkinkan mendapat pemasukan dari Pemerintah Pusat berupa ganjaran, subsidi dan sumbangan. Ada banyak pengertian mengenai ganjaran yaitu menurut pasal 58 UU No. 1 Tahun 1957 dan pasal 7 UU No. 32 Tahun 1956. Perlu diperhatikan bahwa untuk memberikan ganjaran kepada Daerah harus diperhatikan dasar-dasarnya, yaitu:
1. Daerah memerlukan eaktu yang tak singkat untuk menyesuaikan keadaan keuangannya;
2. Pada hakikatnya negara tidak dapat melepaskan diri sama sekali dari pertanggungan jawab atas penyelenggaraan otonomi daerah;
Berdasarkan PP No. 4 Tahun 1957 ganjaran dari Pemerintah Pusat kepada Pemerintah Daerah dibagi menjadi 3 jenis yaitu:
1. Ganjaran diberikan kepada Daerah yang berhubungan dengan kewajiban untuk menyelenggarakan tugas Pemerintah Pusat;
2. Ganjaran yang diberikan kepada Pemerintah Daerah yang berhubungan dengan dan pada saat penyerahan tugas Pemerintah Pusat menjadi urusan rumah tangga daerah sesudah mulai berlakunya UU Perimbangan Keuangan No. 32 Tahun 1956;
3. Ganjaran diberikan kepada Daerah berhubungan dengan tugas Pemerintah Pusat yang telah menjadi urusan rumah tangga daerah yang penyelenggaraannya melebihi kekuatan keuangan daerah.
Subsidi adalah bantuan yang diberikan kepada daerah untuk penyelenggaraan usaha-usaha daerah yang biayanya melampaui kemampuan keuangan Daerah. Sedangkan sumbangan adalah bantuan yang diberikan kepada Daerah untuk menutup kekurangan anggaran daerah, sebagai akibat adanya keadaan luar biasa yang dapat mengakibatkan Daerah mengalami krisis keuangan. Dari penjelasan di atas maka dapat disimpulkan bahwa ganjaran, subsidi, dan sumbangan merupakan salah satu bentuk transfer uang atau dana yang dilakukan oleh Pemerintah Pusat kepada Daerah. Ini terjadi karena Pemerintah Pusat memliki keuntungan komparatif dalam mengumpulkan penerimaan-penerimaan sedangkan Pemerintah Daerah tidak. Walaupun begitu, menurut Pasal 2 UU No. 32 Tahun 1956, Daerah memiliki sumber-sumber keuangan yang merupakan pendapatan pokok daerah yaitu: (1) pajak daerah; (2) retribusi daerah; (3) pendapatan negara yang diserahkan kepada daerah; (4) dalam hal-hal tertentu kepada daerah dapat diberikan ganjaran, subsidi dan sumbangan.
Selain pajak-pajak yang tersebut di atas, Pemerintah daerah juga memiliki beberapa pajak yang mendukung keuangan Pemerintah Daerah yaitu pajak peralihan, pajak upah, pajak materai, pajak kekayaan dan pajak perseroan ditambah dengan hasil bea masuk, bea keluar, dan cukai kecuali tambahan bagian dari penerimaan bea keluar dan cukai, terlebih dahulu dikumpulkan dalam suatu pot ( fond) baru setelah itu didistribusikan kepada daerah. Menurut The Liang Gie, jurnal uang yang diberikan kepada masing-masing provinsi diperhitungkan berdasarkan 2 kelompok faktor-faktor yang mempengaruhi pengeluaran dan penerimaan daerah yaitu faktor-faktor yang mepengaruhi pengeluaran dan faktor-faktor yang mempengaruhi penerimaan.
Dalam kenyataannya UU No. 32 Tahun 1956 bukan merupakan solusi akhir untuk mengatasi keruwetan mengenai hubungan keuangan antara Pusat dan Daerah, sebab masih ada kelemahan atau kekurangan, yaitu:
1. Penyerahan jenis-jenis pajak negara kepada daerah pada hakikatnya adalah sama saja seperti pemberian subsidi menurut sistem sluitpost.
2. Hasil dari kelima jenis pajak Negara sangat tidak memadahi sebagai penopang penyelenggaraan otonomi daerah.
3. Pembagian fonds yang berisi bagian-bagian dari pendapatan Negara harus ditempuh dengan tata cara yang ruwet
4. Dari segi struktur pajak, dorongan tanggung jawab keuangan dan pembangunan ekonomi serta kemajuan daerah masih terdapat keberatan-keberatan terhadap UU No. 32 Tahun 1956.
5. UU No. 32 Tahun 1956 kurang memberikan doronagn terhadap pembangunan ekonomi dan kemajuan daerah di Indonesia.
Pada awal Orde Baru, lebih tepatnya yaitu pada saat Pelita hubungan keuangan mulai dilaksanakan yang ditandai dengan adanya bantuan perkapita pada Pemerintah Kabupaten Dati II yang kemudian dikenal dengan nama Inpres Kabupaten yang bertujuan untuk membiayai proyek rehabilitasi infrastruktur. Perubahan penting dalam pola hubungan keuangan antara pusat dan daerah yaitu pada awal Pelita II yang ditandai dengan dihapuskannya ADO (Alokasi Devisa Otomatis). Pengeluaran Pemerintah Pusat untuk Daerah secara umum dapat digolongkan ke dalam 2 tipe yaitu di satu sisi terdapat subsidi bagi Daerah terutama berupa dana Inpres, sedangkan di sisi lain terdapat alokasi sektoral yang disalurkan melalui departemen-departemen Pemerintah Pusat beserta organ-organnya di daerah.
Pada masa berlakunya UU No. 5 tahun 1974 yang berlaku hamper 25 tahun, sumber-sumber keuangan potensial dikuasai oleh negara. Di luar UU No. 32 Tahun 1956 terdapat beberapa peraturan yang mengatur masalah tersebut, sekalipun yang sifatnya sektoral yaitu UU No. 12 Tahun 1985 Tentang Pajak Bumi dan Bangunan. Kemudian dapat disimpulkan bahwa Pemerintah Pusat secara formal telah memberikan peluang dan hak kepada daerah untuk memperoleh bagian yang lebih besar dari pungutan atas PBB. Pembagian hasil pungutan PBB adalah:
1. 10% hasil penerimaan PBB merupakan bagian Pemerintah Pusat
2. 90% hasil penerimaaan PBB merupakan bagian Pemerintahan Daerah. Hasil penerimaan ini setelah dikurangi upah pungut sebesar 10% dari 90% dibagi untuk Pemerintah Dati I dan Dati II dengan perbandingan 20% untuk Pemerintah Dati I dn 80% untuk Pemerintah Dati II.
Dengan diundangkannya UU No. 22 Tahun 1999 pada tanggal 7 Mei 1999 telah memberikan harapan baru bagi daerah untuk mengembangkan wilayahnya sesuai dengan aspirasi dan kepentingan masyarakatnya. Berdasarkan Pasal 79 UU No. 22 Tahun 1999, sumber-sumber pendapatan daerah terdiri dari:
a. Pendapatan Asli Daerah, yaitu:
1) Hasil pajak daerah
2) Hasil retribusi daerah
3) Hasil perusahaan milik daerah dan hasil pengelolaan kekayaan daerah yang dipisahkan
4) Lain-lain pendapatan asli Daerah yang sah
b. Dana perimbangan
c. Pinjaman daerah
d. Lain-lain pendapatan daerah yang sah
Berdasarkan ketentuan pasal tersebut, maka dapat dikatakan bahwa UU No. 22 Tahun 1999 telah mengatur mengenai adanya dana perimbangan sebagai salah satu sumber pendapatan daerah yang merupakan perwujudan dari hubungan keuangan antara Pemerintah Pusat dengan Pemerintah Daerah meskipun tidak detail.
Sejak 15 Oktober 2004 telah diundangkan UU No. 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pmemerintah Daerah untuk mengganti UU No. 25 Tahun 1999 dan UU tersebut masih berlaku sepanjang belum diganti dengan yang baru.
5.Hubungan Keuangan Antara Pusat dan Daerah Di Indonesia
Konsekuensi dari dianutnya otonomi daerah dalam Negara kesatuan RI,wilayah Negara dibagi dalam beberapa daerah otonom yang berhak mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat dan daerahnya.daerah-daerah otonom tersebut dalam menyelenggarakan pemerintahannya diberi wewenang untuk mengatur, mengelola sumber sumber pendapatan daerah,hingga pemberian wewenang tersebut diharapkan daerah dapat membiayai atau membelajai aktivitasanya.
Sumber-sumber pendapatan keuangan daerah.
Hubungan keuangan antara pemerintah pusat dan daerah merupakan factor penting,sebab hal ini dapat menimbulkan ketegangan antara pusat dan daerah. factor keuangan merupakan hal yang menentukan dapat atau tidaknya suatu organisasi pemerintahan dalam menjalankan aktivitas dan tugas tugasnya.sehingga mekanisme hubungan keuangan antara pemerintah pusat dan daerah sejak tahun 1999 diatur dalam UU no.25 tahun 1999 tentang perimbangan keuangan antara pemerintah pusat dan daerah yang merupakan pelaksanaan atau pengaturan lebih lanjut dari amanat Pasal 80 ayat (4) UU No.22 tahun 1999sampai dinyatakan tidak berlaku bedasarkan Pasal 109 UU no.33 tahun 2004 tentang perimbangan keuangan antara pemerintahan pusat dan pemerintahan daerah, yang merupakan amanat dari pasal 15 ayat (3) UU No.32 tahun 2004 tentang pemerintahan daerah yang merupakan pengganti dari UU No.22 Tahun 1999 .
Didalam UU no. 25 tahun 1999 telah memberikan petunjuk dan arahan yang cukup jelas mengenai dasar-dasar pembiayaan penyelenggaraan pemerintah daerah. Hal tersebut sebagaimana diatur dalam Pasal 2 yang menegaskan bahwa :
(1) Penyelenggaraan tugas Daerah dalam rangka pelaksanaan Desentralisasi dibiayai atas beban APBD.
(2) Penyelenggaraan tugas Pemerintah Pusat yang dilaksanakan oleh perangkat Daerah Propinsi dalam rangka pelaksanaan Dekonsentrasi dibiayai atas beban APBN.
(3) Penyelenggaraan tugas Pemerintah Pusat yang dilaksanakan oleh perangkat Daerah dan Desa dalam rangka Tugas Pembantuan dibiayai atas beban APBN.
(4) Penyerahan atau pelimpahan kewenangan Pemerintah Pusat kepada Gubernur atau penyerahan kewenangan atau penugasan Pemerintah Pusat kepada Bupati/Walikota diikuti dengan pembiayaannya.
Meskipun UU no.25 tahun 1999 telah diganti oleh UU No.33 Tahun 2004 tetapi mengenai dasar dasar pembiayaan dan pendanaan secara subtansial masih sama seperti pasal 2 tersebut diatasjika dibandingkan dengan pasal 4 Bab III mengenai dasar dasar pendanaan pemerintah daerah dalam UU No.33 Tahun 2004.
1) Penyelenggaraan urusan Pemerintahan Daerah dalam rangka pelaksanaan Desentralisasi didanai APBD.
2) Penyelenggaraan urusan Pemerintah yang dilaksanakan oleh gubernur dalam rangka pelaksanaan Dekonsentrasi didanai APBN.
3) Penyelenggaraan urusan Pemerintah yang dilaksanakan oleh gubernur dalam rangka Tugas Pembantuan didanai APBN.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar