Liputan6.com, Jakarta: Ahad, tepat sepekan silam, kawasan Monumen Nasional di Jakarta Pusat dipenuhi ribuan orang dari berbagai elemen masyarakat. Tujuan mereka tak lain untuk memperingati lahirnya Pancasila pada tanggal 1 Juni. Begitu pula dengan massa dari kelompok Aliansi Kebangsaan untuk Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan (AKKBB).
Namun, tiba-tiba sekelompok massa menyerbu dengan luapan amarah. Kaget dan tak siap, kelompok ini pun kocar kacir ketakutan. Kendati demikian, massa penyerang yang belakangan diketahui dari Front Pembela Islam (FPI) tak peduli. Mereka terus menghajar tanpa pandang bulu. Kedatangan polisi dalam jumlah lebih besar juga tak banyak membantu.
Tindak kekerasan pengikut FPI akhirnya bisa dilokalisir. Belasan orang mengalami luka-luka, tak terkecuali perempuan dan anak-anak. Sembilan orang di antaranya dirujuk ke rumah sakit [baca: FPI Menyerbu Massa Aliansi Kebangsaan, 14 Terluka].
Bagi FPI, aksi ini adalah puncak kemarahan mereka terhadap massa AKKBB yang dituding menunggangi peringatan Hari Pancasila dengan berorasi mendukung kelompok tertentu. Namun, kejadian ini membuat mantan Presiden Abdurrahman Wahid gusar dan bereaksi keras saat mengunjungi korban penyerangan yang di antaranya adalah personel Wahid Institute [baca: Gus Dur: Polri Harus Ambil Tindakan Hukum].
Sehari pascapenyerangan di silang Monas, polisi mengaku mengantungi lima nama tersangka kerusuhan. Namun, saat itu belum satu pun yang ditangkap. Sementara di Markas FPI di Petamburan III, Jakarta Barat, situasi nampak tegang. Ormas ini membuat pernyataan keras yang menantang dan menyatakan akan melawan jika salah satu anggotanya ditangkap polisi.
Tidak hanya di Jakarta, aksi penyerangan FPI juga menimbulkan reaksi di berbagai daerah. Tak kurang dari Presiden Susilo Bambang Yudhoyono juga langsung merespona kasus ini dengan memerintahkan pelaku penyerangan diproses secara hukum [baca: Presiden Menyesalkan Serangan FPI].
Desakan agar polisi menangkap pelaku penyerangan insiden Monas membuat aparat gerah. Puncaknya, Selasa malam Kepala Kepolisian Daerah Metro Jaya mengultimatum petinggi FPI. Ultimatum pun bersambut. Suasana di Markas FPI malam itu seketika tegang, penjagaan pun dilakukan. Namun demikian, tak seorang pun tersangka insiden Monas yang diserahkan.
Rabu pagi, gang masuk ke Markas FPI tak nampak ada penjagaan. Sekitar 1.500 personel kepolisian masuk ke Markas FPI. Sikap Habib Rizieq Shihab yang sebelumnya akan melawan jika ada anggotanya yang ditangkap, kali ini melunak. Polisi menangkap puluhan anggota FPI untuk dimintai keterangan. Polisi juga menyita puluhan tongkat dan sejumlah senjata tajam [baca: Puluhan Anggota FPI Meringkuk di Tahanan].
Habib Rizieq akhirnya ditetapkan sebagai tersangka, sementara Munarman yang sempat mengaku akan bertanggung jawab kini justru menghilang. Berbagai lokasi, termasuk tempat tinggal Munarman di Jakarta digeledah polisi. Namun hasilnya nihil. Bukan tanpa alasan ia tak menampakkan diri. Video pernyataan dirinyalah yang menjawab [baca: Munarman Muncul dalam Video Rekaman].
Membuat sikap membela keyakinan dalam beragama sah-sah saja. Namun, sepatutnya dilakukan dengan cara yang baik serta bermartabat dan bukan dengan tindak kekerasan yang menyengsarakan dan merugikan orang banyak. Di lain pihak, pemecahan kasus pertikaian antara dua kelompok ini semestinya diupayakan pemerintah secara adil dan damai. (ADO/Tim Buser SCTV).
Analisis masalah
Tragedi kekerasan Monas adalah bukti nyata sepak terjang anarkisme salah satu ormas yang ada di Indonesia. Dalam tragedi ini ormas yang bertindak anarkis adalah Front Pembela Islam (FPI). Tindakan yang anrkisme ini terjadi lantaran adanya pihak yang mendukung golongan tertentu dimana golongan yang yang dibela adalah penghalang kepentingan FPI.
Seperti yang kita ketahui bahwa FPI adalah organisasi yang dibentuk dalam rangka memperjuangkan kepentingan tertentu (interest group asosiasi) yang tujuannya tidak lain adalah menegakkan ajaran Islam. Secara logika kelompok semacam ini tidak akan pernah suka jika ada pihak-pihak yang menghalangi usaha mewujudkan kepentingannya.
Beberapa pekan sebelum terjadi tragedi monas, FPI tengah gencar meminta pemerintah untuk membubarkan kelompok yang menurut mereka mencemarkan agama Islam yang dibelanya. Namun pada tanggal 1 Juni 2008 ada sebuah aksi yang menurut FPI merupakan aksi dukungan terhadap keberadaan kelompok yang melecehkan agama Islam tersebut. Dalam situasi yang semacam ini Nampak jelas adanya benturan kepentingan antara dua kelompok yang berbeda.
Benturan yang semacam ini merupakan hal yang wajar dalam kehidupan politik di mana pun. Dalam setiap masalah terutama politik pasti selalu terjadi pro dan kontra. Yang menjadi masalah adalah ketika benturan ditanggapi dengan aksi kekerasan dan anarkisme seperti yang dilakukan oleh ormas FPI. Dalam aksi menentang lawannya, FPI menggunakan cara anarkis saat membubarkan kegiatan yang tengah dilakukan lawannya. Dalam tragedi monas tersebut sedikitnya 14 orang mengalami luka-luka tak terkecuali wanita dan anak-anak.
Alasan ormas FPI melakukan tindakan anarkis sebenarnya adalah tindakan yang wajar. Upaya itu adalah cara untuk mempertahankan dan memperjuangkan kepentingan dari organisasi semata.
Akibat tindakan yang anarkis tersebut beberapa orang yang dinggap bertanggung jawab diciduk aparat kepolisian. Mereka harus mempertanggung jawabkan akibat dari perbuatannya itu. Saat ini telah diputus hukuman penjara terhadap beberapa orang yang dianggap bertanggug jawab tersebut tak terkecuali pimpinan FPI Habib Rizieq dan komando laskar jihad Munarman yang sempat menghilang setelah peristiwa monas.
Tindakan ini bukanlah tindakan anarkis pertama yang dilakukan oleh FPI. Dalam berbagai aksinya kerap kali diwarnai dengan anarkisme dan kekerasan. Oleh sebab itulah banyak kalangan yang meminta pemerintah untuk segera membubarkan organisasi ini. Menanggapi tuntutan sebagian masyarakat itu sampai saat ini pemerintah belum terlihat adanya niat untuk membubarkan organisasi yang dikatakan anarkis ini.
Dalam pasal 18 dan 26 PP No. 18 tahun 1986 sebagai pelaksanaan UU No. 8 tahun 1985 dicantumkan alasan-alasan suatu organisasi masyarakat dapat dibekukan atau dibubarkan. Dalam pasal 18 dikatakan alasan ormas dibubarkan adalah karena mengganggu keamanan dan ketertiban umum dan/atau menerima bantuan dan/atau menberi dantuan kepada luar negeri tanpa ijin pemerintah. Sedangkan dalam pasal 26 dikatakan suatu ormas dapat dibekukan atau dibubarkan karena melanggar ketentuan pasal 2, 3, 4, dan 7. Yang dimaksud dalam ketentuan pasal 2, 3, 4, dan 7 adalah ketentuan-katentuan mengenai kelengkapan administratif.
Berdasar ketentuan-ketentuan diatas ternyata FPI tidak dapat dibubarkan karena tidak ada bukti yang cukup kuat bahwa telah melanggar ketentuan-ketentuan diatas. Kesalahan yang dilakukan FPI adalah adanya kekerasan dan anarkisme dalam aksi-aksinya. Sayangnya hal tersebut tidak dicantumkan dalam undang-undang maupun peraturan pemarintah sehingga sampai saat ini ormas yang seperti itu masih dapat berdiri tegak. Jeratan hukum hanya dapat dikenakan pada orang-orang yang bertindak anarkis, tetapi tidak pada organisasinya.
Tindakan lain yang dapat dilakukan oleh pemerintah saat ini agar kekerasan dan anarkisme oleh ormas tertentu tidak berlanjut adalah dengan melakukan pembinaan. Pembinaan terhadap ormas telah diatur dalam pasal 12 UU No. 8 tahun 1985 dan pasal 13-17 PP No. 18 tahun 1986.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar