Senin, 11 Oktober 2010

HUKUM HAK ASASI MANUSIA (Penyerangan dan Pembakaran Pemukiman Ahmadiyah yang Terjadi di Bogor)

  1. PENDAHULUAN
Dalam pembicaraan mengenai hak asasi manusia, sama seperti pembicaraan hal lain kita harus mengetahui dahulu definisi atau batasannya.
Berikut definisi hak asasi manusia menurut beberapa para ahli. Soetandyo Wignjosoebroto mengatakan bahwa hak asasi manusia adalah Hak-hak (yang seharusnya) diakui secara universal sebagai hak-hak yang melekat pada manusia karena hakikat dan kodrat kelahiran manusia itu sebagai manusia. Sedangkan Jerome Shestack, hak asasi manusia adalah hak yang semata – mata dimiliki oleh seseorang karena mereka adalah umat manusia yang memiliki kebebasan keadaan sosial dan tingkat kebaikan yang bermacam – macam.
Selain definisi dari para ahli, hak asasi juga terdapat dalam agama di dunia. Contohnya Islam menyebutkan bahwa semua orang dihadapan Allah swt adalah sama, hanya ketakwaannya yang membedakan dan kristen menyebutkan agar memberi makan orang yang kelaparan dan memberi pakaian orang yang telanjang.   
Disini kita bisa melihat bahwa agama pun mengatur mengenai hak asasi manusia. Tidak terbayangkan jika agama tidak mengatur hal ini. Kekacauan yang berasal dari isu SARA (suku, agama, dan ras) pasti akan terjadi. Tapi kita harus tersadarkan juga mengenai kejadian yang terjadi belakangan ini. Disamping kasus century yang belum tentu ujungnya, kabar anggota dewan terhormat yang ingin membangun gedung baru lengkap dengan sarana yang memanjakan, kita dikejutkan oleh kabar dari Bogor, Jawa Barat. Disana terjadi penyerangan dan pembakaran pemukiman Ahmadiyah di desa Cisalada RT  01 RW 05 Desa Ciampea Udik, Kabupaten Bogor. Penyerangan terhadap warga Ahamdiyah pun terjadi di kuningan, Jawa Barat.
2.PERMASALAHAN
Ada beberapa permasalahan yang timbul dari hal ini. Antara lain :
Adakah pelanggaran HAM dalam kasus tersebut?
pelanggaran atas hak apa saja?
Siapa yang paling bertanggungjawab atas kejadian tersebut?
Adakah pembenaran atas terjadinya peristiwa tersebut?

3.PEMBAHASAN
 Dalam UU no 39 tahun 1999, pasal 1 ayat 1 berbunyi Hak Asasi Manusia adalah seperangkat hak yang melekat pada hakikat dan keberadaan manusia sebagai mahluk Tuhan Yang Maha Esa dan merupakan anugrah-Nya yang wajib dihormati, dijunjung tinggi dan dilindungi oleh negara, hukum, Pemerintahan, dan setiap orang demi kehormatan serta perlindungan harkat dan martabat manusia.
Dasar hukum yang menjamin kebebasan beragama di Indonesia yaitu Pasal 28E ayat (1) Undang-Undang Dasar Tahun 1945 (“UUD 1945”):
“Setiap orang bebas memeluk agama dan beribadat menurut agamanya, memilih pendidikan dan pengajaran, memilih pekerjaan, memilih kewarganegaraan, memilih tempat tinggal di wilayah negara dan meninggalkannya, serta berhak kembali.”
Pasal 28E ayat (2)  UUD 1945 juga menyatakan bahwa setiap orang berhak atas kebebasan meyakini kepercayaan.
Selain itu dalam Pasal 28I ayat (1) UUD 1945 juga diakui bahwa hak untuk beragama merupakan hak asasi manusia. UUD 1945 pasal 29 ayat 1 dan 2 juga disebutkan bahwa negara berdasarkan ketuhanan yang maha esa dan setiap warga negara diberi kebebasan dalam hal memeluk agama dan kepercayaan. Secara tidak langsung, Indonesia menjamin kebebasan ini. Karena dikategorikan sebagai hak asasi yang harus dilindungi oleh negara, hukum, pemerintah, dan setiap orang.
 Aksi yang semula damai akhirnya berlangsung anarkis. Hujan batu yang mewarnai penyerangan jemaah Ahmadiyah di Kuningan, Jawa Barat Kejadiannya tidak secara serta merta terjadi. Istigosah yang diadakan berjalan secara damai meskipun kebanyakan isinya adalah menghujat Ahmadiyah. Beberapa ormas yang datang bisa dikendalikan. Mereka pulang dengan tertib dan teratur. Berbeda dengan ormas islam lain, seperti  Gerakan Anti Pemurtadan dan Aliran Sesat (Gapas) serta Harakah Sunniyah untuk Masyarakat Islami (Hasmi) justru mendatangi blokade polisi. Mereka berteriak-teriak tentang sesatnya jemaah Ahmadiyah yang mengakui adanya nabi lain setelah Nabi Muhammad SAW. Ini adalah awal dari tindakan anarkis yang sepertinya terjadi lagi setelah insiden silang monas. Anggota polisi dan Brimob yang diturunkan tidak mampu membendung gelombang masyarakat ini. Sebagai akibat dari ketidakmampuan aparat, jemaah Ahmadiyah yang diserang mencoba membela diri dengan membalas lemparan batu. Sejumlah orang terluka akibat peristiwa itu, termasuk sejumlah anggota Brimob, dua orang dari ormas Islam non Ahmadiyah, dan wartawan.
Berbeda lagi pembakaran yang dilakukan oleh masyarakat di bogor terhadap pemukiman warga Ahmadiyah. Seperti yang ditulis di Tempo, pembakaran ini dimulai dengan beredarnya isu penusukan dua penduduk Kampung Kebon Kopi, Desa Ciampea Udik, oleh warga Ahmadiyah.  Lebih rincinya adalah akibat cekcok mulut antar pemuda non Ahmadiyah dengan pemuda Ahmadiyah. Cek-cok ini berakhir dengan perkelahian dan pembacokan bahkan penyandraan sejumlah warga oleh pemuda jamaat Ahmadiyah. Tak terima atas pembacokan itu dan penyandraan warga, massa pun marah dan membakar pemukiman Ahmadiyah yang dihuni 520 jiwa atau 90 kepala keluarga (KK) di RT 1dan 02/05. Massa ini selain membakar juga merusak dan melempari bom molotov.
Dalam insiden di Kuningan jelas ada pelanggaran disana. Pelanggaran terhadap kebebasan memeluk agama dan kepercayaan. Karena memeluk agama dan kepercayaan adalah hak asasi dan tidak bisa dikurangi sedikit pun meski negara dalam keadaan darurat seperti yang tertulis dalam Pasal 4 The International Covenant on Civil and Political Rights (ICCPR). Dalam konsep HAM, tidak dikenal seorang yang beragama dan tidak beragama. Komite HAM PBB pun menyatakan bahwa agama atau kepercayaan adalah kepercayaan theistik, non-theistik, dan atheistik termasuk pula hak untuk tak memiliki agama maupun kepercayaan. Lalu Majelis Umum PBB mengeluarkan pernyataan mengenai Hak Asasi Manusia sedunia yang disebut UDHR (Universal Declaration Of Human Right), yang pada pasal 18 berbunyi bahwa semua manusia berhak dalam beragama dan berkeyakinan. Dalam pasal tersebut terkandung suatu pesan tegas bahwa kebebasan beragama adalah pula meliputi kebebasan untuk beralih/berganti agama serta kebebasan untuk menyatakan agama.
Pihak yang bertanggungjawab adalah para pemimpin dari ormas yang melakukan tindakan anarkis disamping kesadaran orang – orang itu sendiri. Karena pemimpin seharusnya bisa mengontrol anggotanya. Dari segi konsep HAM, tidak ada pembenaran. Sesuai dengan isi UDHR bahwa setiap orang bebas beralih / berganti agama serta kebebasan untuk menyatakan agama. Lain halnya dari segi moral dan agama, kita harus mencegah seseorang untuk pindah ke agama atau kepercayaan lain atau dalam Islam disebut pemurtadan.
Insiden di Bogor, lebih ke kasus pidana. Karena motifnya adalah balas dendam akibat penusukan dan penyanderaan warga non ahmadiyah oleh warga ahmadiyah.
4.KESIMPULAN
M emeluk agama dan kepercayaan sudah kodratnya menjadi hak setiap manusia. Negara dan segala alatnya berkewajiban untuk menghormati, menjaga, dan melindungi. Jika sampai ada pemaksaan dan atau kekerasan terhadap antar pemeluk agama, berarti bisa dikatakan negara telah melakukan pelanggaran HAM.

Tidak ada komentar:

neoboard