Sabtu, 21 April 2012

MENGENANG SOSOK HAKIM YANG BERSAHAJA.

BUKU KESATU
Mungkin kita  pernah mendengar sosok bismar siregar dari para dosen kita maupun dari media massa sesosok hakim yang terus berada pada rel keadilan.hakim yang mungkin tidak ada bandingannya. Dalam melaksanakan putusan beliau sangat mempertimbangkan 3 tujuan hukum(keadilan,kepastian dan kemanfaatan-red).apabila ada persinggungan diantara ketiganya maka beliau mendahulukan keadilan. Tak jarang keputusan yang beliau ambil sangat lah kontrofersial.seperti yang  penulis kutip dari media online detik.com bahwa bismar siregar pernah memutus seorang wanita lajang yang telah dijanjikan menikah dengan kekasihnya yang lajang pula dan ternyata wanita tersebut telah melakukan hubungan layaknya suami-istri dan hamil oleh kekasihnya dan kekasihnya pun tidak mau menikahi kekasinya tersebut.dan sang pria divonis dengan menggunakan pasal 378 KUHP yang berbunyi :
 “Barang siapa dengan maksud untuk menguntungkan diri sendiri atau orang lain secara melawan hukum, dengan memakai nama palsu atau martabat palsu, dengan tipu muslihat, ataupun rangkaian kebohongan, menggerakkan orang lain untuk menyerahkan barang sesuatu kepadanya, atau supaya memberi hutang maupun menghapuskan piutang diancam karena penipuan dengan pidana penjara paling lama empat tahun.”
Padahal hal tersebut ditujukan untuk harta benda dan kemaluan wanita disamakan dengan dengan harta benda. Dapat dikatakan bahwa putusan beliau sangatlah mempertimbangkan aspek keadilan baik pelaku maupun korban.
          Bismar siregar memiliki track record yang sangat baik  seperti yang penulis kutip dalam media online  media indonesia beliau Hakim agung yang tidak sekolah dasar dan SMP ini mengawali karirnya menjadi jaksa di Kejari Palembang (1957-1959)danKejari Makassar/Ambon(1959-1961).Karir hakimnya di awali Pengadilan Negeri Pangkalpinang (1961-1962), hakim di Pengadilan Negeri Pontianak (1962-1968), panitera Mahkamah Agung RI (1969-1971), Ketua Pengadilan Negeri Jakarta Utara/Timur (1971-1980), Hakim Tinggi Jawa Barat, Bandung (1981-1982), Ketua Pengadilan Tinggi Sumatera Utara, Medan (1982-1984) dan Hakim Agung di Mahkamah Agung RI (1984 - 1 Desember 1995). Yang dijalani beliau dengan sangat baik.
          Bismar siregar Sesosok hakim yang bersahaja dalam kehidupan pribadinya ini.telah tiada tetapi segala teladan yang beliau toreh dalam sejarah penegakan hukum  keadilan telah  menjadi teladan yang baik seorang  seperti yang dikutip dari detik.com guru besar Universitas diponegoro (UNDIP) yaitu Prof Satjipto Rahardjo, menilai Bismar sebagai orang yang lurus.
Setiap memutus perkara Bismar selalu bertanya kepada hati nuraninya untuk tahu apakah orang yang akan divonisnya jahat atau tidak. Setelah itu, dia baru mencari pasal hukum untuk mendasari keputusannya. Tak hanya nurani dan UU, putusan yang dikeluarkan Bismar juga berpatok pada ajaran dan kitab suci agama terdakwa.

Bismar adalah sosok bersahaja. Tutur bicaranya lembut dan menyejukkan. Dia dikenal sebagai orang yang kerap memberikan petuah-petuah bijak. Mungkin perjalanan hidup yang tidak selalu lurus dan mulus membentuk Bismar menjadi orang yang berkarakter.
          kini beliau pun telah wafat pada  pada Kamis meninggal pada pukul 12.25 WIB di RS Fatmawati, Jakarta Selatan, pada usia 84 tahun karena pendarahan otak.
          Semoga banyak teladan yang kita ambil dari sosok beliau. Dan muncul para penegak hukum yang baik dan lebih berorientasi pada keadilan dan bisa menjadikan negara ini lebih baik lagi. Selamat jalan “yang mulia”{ozy}(foto: beritadaerah.com)

Jumat, 20 April 2012

PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI TENTANG STATUS ANAK LUAR KAWIN


                   

Oleh: Syafran Sofyan, S.H., Sp.N., M.Hum
I.                   UMUM :
Mahkamah  Konstitusi adalah lembaga tinggi negara dalam sistem ketatanegaraan Indonesia yang merupakan pemegang kekuasaan kehakiman bersama-sama dengan Mahkamah Agung. Pasal 24 ayat 2 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD 1945) menyatakan, Kekuasaan kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan badan peradilan yang berada di bawahnya dalam lingkungan peradilan umum, lingkungan peradilan agama, lingkungan peradilan militer, lingkungan peradilan tata usaha negara, dan oleh sebuah Mahkamah Konstitusi (MK).
Berdasarkan ketentuan tersebut, Mahkamah Konstitusi merupakan salah satu pelaku kekuasaan kehakiman selain Mahkamah Agung. Kekuasaan kehakiman merupakan kekuasaan yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan. Dengan demikian, Mahkamah Konstitusi adalah suatu lembaga peradilan, sebagai cabang kekuasaan yudikatif, yang mengadili perkara-perkara tertentu yang menjadi kewenangannya berdasarkan ketentuan UUD 1945.
Berdasarkan pasal 24C ayat 1 UUD 1945 yang ditegaskan kembali dalam pasal 10 ayat 1 huruf a sampai dengan d UU 24/2003, Kewenangan Mahkamah Konstitusi adalah sebagai berikut :
1.    menguji undang-undang terhadap UUD NRI Th.1945;
2.    memutus sengketa kewenangan lembaga Negara yang kewenangannya diberikan oleh UUD NRI Th.1945;
3.    memutus pembubaran partai politik;
4.    memutus perselisihan tentang hasil pemilihan umum.
 II.      PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI  REPUBLIK INDONESIA 
           Nomor 46/PUU-VIII/2010, Tanggal 13 Februari 2012.
Putusan Mahkamah Konstitusi yang mengabulkan uji materiil UU Perkawinan (UU No.1 Tahun 1974) yang diajukan Hj. Aisyah Mochtar alias Machica binti H. Mochtar Ibrahim yang meminta puteranya Muhammad Iqbal Ramadhan bin Moerdiono agar diakui sebagai anak almarhum Moerdiono, mantan Menteri Sekretaris Negara di era Presiden Soeharto, memicu perseteruan antara dirinya dengan keluarga almarhum Moerdiono.
Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 46/PUU-VIII/2010 yang mengadili perkara konstitusi pada tingkat pertama dan terakhir, menjatuhkan putusan dalam perkara permohonan pengujian Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

Berdasarkan Pasal  51 ayat 1 UU 24/2003 untuk mengajukan perkara konstitusi si pemohon harus memiliki kedudukan hukum (legal standing), sebagai pihak yang menganggap hak dan/atau kewenangan konstitusionalnya dirugikan oleh berlakunya undang-undang, yaitu :
1.    perorangan warga Negara Indonesia;
2.    kesatuan masyarakat hukum adat sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia yang diatur dalam undang-undang;
3.    badan hukum public atau privat; atau
4.    lembaga Negara
Dengan demikian, para pemohon dalam pengujian Undang-Undang terhadap UUD 1945 harus menjelaskan dan membuktikan terlebih dahulu :
1.    kedudukannya sebagai para pemohon sebagaimana dimaksud pasal 51 ayat 1 UU 24/2003
2.    kerugian hak dan/atau kewenangan konstitusional yang diberikan oleh UUD 1945 yang diakibatkan oleh berlakunya undang-undang yang dimohonkan pengujian.
Pemohon mengajukan uji materiil terhadap . 
UUD  1945
UU No 1 Th 1974 tentang Perkawinan
Pasal 28 B ayat 1
“ Setiap orang berhak membentuk keluarga dan melanjutkan keturunan melalui perkawinan yang sah “
Pasal 2 ayat 2
“ Tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku “
Pasal 28 B ayat 2
“ Setiap anak berhak atas kelangsungan hidup, tumbuh, dan berkembang serta berhak atas perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi “
Pasal 43 ayat 1
“ Anak yang dilahirkan di luar perkawinan hanya mempunyai hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya “
Pasal 28 D ayat 1
“ Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adilserta perlakuan yang sama di hadapan hukum“


Mahkamah Konstitusi memberikan putusan mengabulkan sebagian permohonan para pemohon.  Pasal 2 ayat 2 UU Perkawinan tidak dikabulkan sebab perkawinan yang dicatatkan adalah untuk mencapai tertib administrasi.
Pencatatan secara administratif yang dilakukan Negara dimaksudkan agar perkawinan, sebagai perbuatan hukum penting dalam kehidupan yang dilakukan oleh yang bersangkutan, yang berimplikasi terjadinya akibat hukum yang sangat luas, di kemudian hari dapat dibuktikan dengan bukti yang sempurna dengan suatu akta otentik, sehingga perlindungan dan pelayanan oleh Negara terkait dengan hak-hak yang timbul dari suatu perkawinan dapat terselenggara secara tertib dan efisien. Artinya, dengan dimilikinya bukti otentik akta perkawinan, hak-hak yang timbul sebagai akibat perkawinan dapat terlindungi dan terlayani dengan baik, karena tidak diperlukan proses pembuktian yang memakan waktu, uang, tenaga, dan pikiran yang lebih banyak, seperti pembuktian mengenai asal-usul anak dalam pasal 55 UU perkawinan yang mengatur bahwa bila asal-usul anak tidak dapat dibuktikan dengan akta otentik maka mengenai hal itu akan ditetapkan dengan putusan pengadilan yang berwenang. Pembuktian yang demikian pasti tidak lebih efektif dan efisien bila dibandingkan adanya akta otentik sebagai bukti.
Pasal 43 ayat 1 UU Perkawinan dikabulkan karena hubungan anak dengan seorang laki-laki sebagai bapak tidak semata-mata karena adanya ikatan perkawinan, akan tetapi dapat juga didasarkan pada pembuktian adanya hubungan darah antara anak dengan laki-laki tersebut sebagai bapak. Dengan demikian, terlepas dari soal prosedur/administrasi perkawinannya, anak yang dilahirkan harus mendapat perlindungan hukum. Jika tidak demikian, maka yang dirugikan adalah anak yang dilahirkan di luar perkawinan, padahal anak tersebut tidak berdosa karena kelahirannya di luar kehendaknya.
Komisi perlindungan anak Indonesia (KPAI) mengungkapkan hampir 50 juta anak di Indonesia tidak memiliki akta kelahiran karena berbagai sebab antara lain karena pernikahan tidak sah atau tercatat di atau kawin siri, angka ini hampir separuh dari total jumlah anak dibawah 5 tahun yang ada di Indonesia. KPAI sangat mengapresiasi putusan MK beberapa waktu lalu yang mengabulkan permohonan uji materiil atas pasal anak diluar pernikahan sah dalam UU perkawinan.
Menurut ketua Komnas perlindungan Anak Aris Merdeka Sirait, perubahan pada Undang-undang Perkawinan oleh Mahkamah Konstitusi ini akan menjadi landasan hukum yang sah dalam memajukan upaya advokasi bagi anak-anak diluar pernikahan yang sah untuk memperoleh hak keperdataannya.
“Jadi putusan MK kemarin memberikan hak keperdataan yang selama ini tidak diakui negara. Makanya akta lahirnya itu tidak mencantumkan nama ayah. Dan tentu ini akan berimplikasi tidak mendapatkan “hak waris” dan tidak bisa mencantumkan siapa bapaknya, nah..itukan merugikan anaknya. Didalam konvensi PBB juga pengakuan keperdataan dalam bentuk identitas nama dan kewarganegaraan itu harus diberikan oleh negara, tidak harus bergantung pada sah tidaknya perkawinan. Tetapi juga sebagai hak konstitusi, hak keperdataan, itu adalah hak yang sangat mendasar dan konstitusional”.
Ketua Majelis Ulama Indonesia Umar Shihab juga menyambut baik putusan MK ini, menurut Umar, putusan ini bisa menjadi dasar hukum bagi hakim dalam memutuskan sengketa anak.
Anak yang dilahirkan tanpa memiliki kejelasan status ayah seringkali mendapatkan perlakuan yang tidak adil dan stigma di tengah-tengah masyarakat. Hukum harus memberi perlindungan dan kepastian hukum yang adil terhadap status seorang anak yang dilahirkan dan hak-hak yang ada padanya, termasuk terhadap anak yang dilahirkan meskipun keabsahan perkawinannya masih dipersengketakan.
Berdasarkan uraian ini Pasal 43 ayat 1 UU Perkawinan ini harus dibaca, “Anak yang dilahirkan di luar perkawinan mempunyai hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya serta dengan laki-laki sebagai ayahnya yang dapat dibuktikan berdasarkan ilmu pengetahuan dan teknologi dan/atau alat bukti lain menurut hukum mempunyai hubungan darah, termasuk hubungan perdata dengan keluarga ayahnya. “
Bagaimana tindakan notaris apabila ada anak luar kawin/kuasa/walinya tersebut minta dibuatkan akta keterangan waris sementara ada penyangkalan dari ahli waris yang sah? 
Dari sisi praktisi notaris yang berwenang untuk membuat suatu keterangan waris, hal ini agak merepotkan, karena untuk membuat suatu keterangan waris diharuskan untuk menerima bukti-bukti otentik berupa akta kelahiran yang menyatakan bahwa anak tersebut merupakan anak sah dari hasil perkawinan kedua orangtuanya. Ada kekhawatiran dalam praktik di masyarakat, tiba-tiba akan bermunculan berbagai kasus sehubungan dengan adanya tuntutan dari anak-anak luar kawin yang tidak/belum pernah diakui oleh pewaris, yang menuntut bagian dari warisan tersebut.  
Berdasarkan KUH Perdata dan UU Perkawinan
Putusan MK Nomor 46/PUU-VIII/2010
Surat Keterangan Hak Waris biasanya dibuat oleh Notaris yang berisikan keterangan mengenai pewaris, para ahli waris dan bagian-bagian yang menjadi hak para ahli waris berdasarkan Kitab Undang-Undang Hukum Perdata.
Anak Luar Kawin dalam BW dan KUH Perdata bisa mendapat bagian waris melalui proses pengakuan yang ditetapkan oleh pengadilan. Walaupun dengan adanya perbuatan hukum pengakuan ini sang anak maksimal mendapat 1/3 bagian waris.
Ketika pewaris meninggal, timbulah warisan dan ahli waris. Keberadaan anak luar kawin yang sudah ditetapkan pengadilan tetap akan mendapatkan bagian waris. Apabila ahli waris lain menolak, nama sang ahli waris ( anak luar kawin yang mendapatkan pengakuan ) sudah tercatat dan harus dimasukkan dalam surat keterangan waris.
Notaris akan mengecek terlebih dahulu berapa jumlah ahli waris yang tercatat oleh Negara. Dengan demikian jika ahli waris di luar anak luar kawin yang mendapat pengakuan menyangkal, surat keterangan waris tidak dapat dibuat.
Anak luar kawin berdasarkan putusan MK ini dapat membuktikan dengan ilmu pengetahuan jika anak memiliki hubungan darah dengan ayahnya.
Jika ia terbukti berdasarkan ilmu pengetahuan merupakan anak pewaris maka anak tersebut mempunyai hak waris yang sama besarnya dengan ahli waris lainnya.
Peraturan pelaksana putusan MK ini belum ada sehingga masih terdapat kekosongan hukum bagaimana anak luar kawin mendapat jaminan ia akan mendapatkan warisannya.
Kemajuan yang dibuat putusan MK ini setelah dilakukannya pembuktian melalui ilmu pengetahuan ahli waris lain tidak dapat menyangkal keberadaan anak luar kawin ini. Karena secara ilmu pengetahuan anak luar kawin ini adalah anak dari pewaris.
Surat keterangan waris dapat dibuat namun dapat terjadi permasalahan dalam administrasi pengurusan surat keterangan waris.


III.    PEMBAHASAN
A. Anak Luar Kawin Menurut Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPerdata) dan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan
Anak luar kawin yang diakui secara sah adalah salah satu ahli waris menurut undang-undang yang diatur dalam KUHPerdata berdasarkan Pasal 280 jo Pasal 863 KUHPerdata. Anak luar kawin yang berhak mewaris tersebut merupakan anak luar kawin dalam arti Sempit, mengingat doktrin mengelompokkan anak tidak sah dalam 3 (tiga) kelompok, yaitu anak luar kawin, anak zina, dan anak sumbang, sesuai dengan penyebutan yang diberikan oleh pembuat undang-undang dalam Pasal 272 jo 283 KUHPerdata (tentang anak zina dan sumbang). Anak luar kawin yang berhak mewaris adalah sesuai dengan pengaturannya dalam Pasal 280 KUHPerdata.
Pembagian seperti tersebut dilakukan, karena undang-undang sendiri, berdasarkan ketentuan-ketentuan yang ada, memang memberikan akibat hukum lain-lain (sendiri-sendiri) atas status anak-anak seperti tersebut di atas. Sekalipun anak zina dan anak sumbang sebenarnya juga merupakan anak luar kawin dalam arti bukan anak sah, tetapi kalau dibandingkan dengan Pasal 280 dengan Pasal 283 KUHPerdata, dapat diketahui anak luar kawin menurut Pasal 280 dengan anak zina dan anak sumbang yang dimaksud dalam Pasal 283 adalah berbeda.
Demikian pula berdasarkan ketentuan Pasal 283, dihubungkan dengan Pasal 273 KUHPerdata, bahwa anak zina berbeda dengan anak sumbang dalam akibat hukumnya. Terhadap anak sumbang, undang-undang dalarn keadaan tertentu memberikan perkecualian, dalam arti, kepada mereka yang dengan dispensasi diberikan kesempatan untuk saling menikahi (Pasal 30 ayat (2) KUHPerdata) dapat mengakui dan mengesahkan anak sumbang mereka menjadi anak sah (Pasal 273 KUHPerdata). Perkecualian seperti ini tidak diberikan untuk anak zina.
Perbedaan antara anak luar kawin dan anak zina terletak pada saat pembuahan atau hubungan badan yang menimbulkan kehamilan, yaitu apakah pada saat itu salah satu atau kedua-duanya (maksudnya laki-laki dan perempuan yang mengadakan hubungan badan di luar nikah) ada dalam ikatan perkawinan dengan orang lain atau tidak, sedangkan mengenai kapan anak itu lahir tidak relevan. Anak zina adalah anak-anak yang dilahirkan dari hubungan luar nikah antara seorang laki-laki dan seorang perempuan di mana salah satu atau kedua-duanya, terikat perkawinan dengan orang lain. Adapun anak sumbang adalah anak-anak yang dilahirkan dari hubungan antara seorang laki-laki dan seorang perempuan, yang antara keduanya berdasarkan ketentuan undang-undang ada larangan untuk saling menikahi (Pasal 31 KUHPerdata).


Dengan demikian anak luar kawin dalam arti sempit adalah anak yang dilahirkan dari hasil hubungan antara seorang laki-laki dan seorang perempuan, yang kedua-duanya tidak terikat perkawinan dengan orang lain dan tidak ada larangan untuk saling menikahi, anak-anak yang demikianlah yang bisa diakui secara sah oleh ayahnya (Pasal 280 KUHPerdata).
Hubungan antara ibu dan anak terjadi dengan sendirinya karena kelahiran, kecuali apabila anak itu "overspelig atau bloedsrhenning (anak zinah). Antara ayah dan anak hanya terjadi hubungan perdata karena pengakuan (Pasal 280 KUHPerdata).
Pasal 280 KUHPerdata, yang mengatakan; bahwa dengan pengakuan yang dilakukan terhadap seorang anak luar kawin, timbullah hubungan perdata antara anak dan bapak atau ibunya. Hal ini berarti, bahwa antara anak luar kawin dan "ayah" (biologisnya) maupun "ibunya" pada asasnya tidak ada hubungan hukum. hubungan hukum itu baru ada kalau "ayah" dan atau "ibunya"memberikan pengakuan, bahwa anak itu adalah anaknya. Dengan demikian, tanpa pengakuan dari ayah dan atau ibunya, pada asasnya anak itu bukan anak siapa-siapa. Ia tidak mempunyai hubungan hukum dengan siapa pun.
Kalau kita melihat prinsip seperti tersebut di atas, kita bisa menyimpulkan, bahwa hubungan hukum antara orang-tua dan anaknya yang sah didasarkan atas adanya hubungan darah antara keduanya. akan tetapi, kalau kita hubungkan dengan anak luar kawin, hubungan hukum antara anak luar kawin dan ayah yang mengakuinya, didasarkan atas hubungan darah melalui suatu pengakuan dengan demikian, hubungan darah dalam hal ini adalah hubungan darah dalam arti yuridis, bukan dalam arti biologis. Kedudukan anak luar kawin di dalam hukum secara realitas adalah lebih rendah dibanding dengan anak sah, dengan pengertian bagian waris yang diterima oleh anak luar kawin lebih kecil dibandingkan dengan anak sah. Selain hal tersebut, anak sah berada di bawah kekuasaan orang tua sebagaimana diatur dalam Pasal 299 KUHPerdata, sedangkan anak luar kawin yang telah diakui secara sah berada di bawah perwalian sebagaimana diatur dalam Pasal 306 KUHPerdata.
Untuk dapat menjadi seorang ahli waris KUHPerdata telah menetapkan syarat-syarat sebagai berikut :
1.    Berdasarkan Pasal 832 KUHPerdata untuk dapat menjadi ahli waris harus memiliki hubungan darah baik sah atau luar kawin. Dimungkinkan menjadi ahli waris melalui  pemberian melalui surat wasiat sebagaimana diatur dalam Pasal 874 KUHPerdata.
2.    Berdasarkan Pasal 836 KUHPerdata Ahli waris, harus sudah ada pada saat pewaris meninggal dunia. Namun, ketentuan ini disimpangi oleh Pasal 2 KUHPerdata yang menyebutkan bahwa anak yang ada dalam kandungan seorang perempuan dianggap sebagai telah dilahirkan, bilamana kepentingan si anak menghendakinya.
Ketentuan Pasal 832 KUHPerdata memperjelas kedudukan masing-masing ahli waris harus didasari oleh suatu hubungan darah baik sah maupun luar kawin. Dalam hal ini, perlu diidentifikasi lebih lanjut tentang kedudukan anak-anak pewaris sebagai ahli waris. Mengingat dalam suatu pewarisan menurut KUHPerdata dikenal anak luar kawin baik yang diakui secara sah maupun tidak. KUHPerdata tidak menjelaskan lebih lanjut pengertian yang jelas tentang anak luar kawin. KUHPerdata hanya memberikan penjelasan tentang pengertian anak sah sebagaimana diatur dalam Pasal 250 KUHPerdata yang menyebutkan bahwa anak sah adalah setiap anak yang dilahirkan dan atau dibuahkan dari suatu perkawinan yang sah. Berdasarkan batasan yang diberikan oleh Pasal 250 KUHPerdata dapat ditarik kesimpulan bahwa yang disebut dengan anak luar kawin adalah setiap anak yang dilahirkan di luar perkawinan yang sah.
UU No. 1 Tahun 1974 mengatur kedudukan anak luar kawin dalam Pasal 43, yaitu:
1.    Anak yang dilahirkan di luar perkawinan hanya mempunyai hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya;
2.    Kedudukan anak tersebut ayat (1) di atas selanjutnya akan diatur dalam Peraturan Pemerintah.
Kompilasi Hukum Islam Pasal 4 menyebutkan Perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut hukum Islam sesuai dengan pasal 2 ayat (1) Undang-undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan yang menyebutkan “Perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agama dan kepercayaannya itu.”
Namun, perkawinan tersebut harus dilaporkan dan dicatat di Kantor Urusan Agama (KUA) atau di Catatan Sipil bagi yang bukan beragama Islam, karena Pencatatan perkawinan seperti yang diamanatkan Pasal 2 ayat (2) UU No 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan bertujuan untuk melindungi warga negara dalam membangun keluarga dan memberikan kepastian hukum terhadap hak suami, istri, dan anak-anaknya.
UU No. 1 tahun 1974 pasal 2 ayat 2 menyebutkan “Tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku”. Begitu pula di dalam Pasal 5 Kompilasi Hukum Islam menyebutkan:
1.    Agar terjamin ketertiban perkawinan bagi masyarakat Islam setiap perkawinan harus dicatat.
2.    Pencatatan perkawinan tersebut pada ayat (1), dilakukan oleh Pegawai Pencatat Nikah sebagaimana yang diatur dalam Undang-undang No.22 Tahun 1946 jo Undang-undang No. 32 Tahun 1954.
Walaupun pernikahan siri dianggap sah secara agama Islam, yaitu adanya ijab dan Kabul serta wali nikah dan pengantin sudah cukup umur, perkawinan tersebut juga harus sah secara hukum Negara. Tanpa adanya pencatatan secara hukum Negara, maka anak-anak yang lahir dari perkawinan tersebut tidak dapat dibuktikan secara hukum merupakan anak sah dari ayahnya. Akibatnya, si anak hanya memiliki hubungan hukum dengan ibu yang melahirkannya.
Dari lima rukun nikah itu, tak ada seorang ulama (empat mazhab) yang mengemukakan sebuah pernikahan harus dicatat. Sebab, tak ada ditemukan dalil dalam Al-Qur’an dan Hadits Sahih yang secara eksplisit mewajibkan adanya pencatatan nikah. Jadi jika pernikahannya sah sekalipun tidak tercatat, anaknya  tetap dianggap anak sah.
Sebuah Hadits Sahih yang diriwayatkan Imam Al-Bukhari dan Muslim dari Abu Hurairah ra, Rasulullah bersabda, “Anak hanya bernasab kepada pemilik tempat tidur suami, sedangkan pezina hanya akan memperoleh sial atau batu hukuman.”  Dari hadits itu, dapat dijelaskan anak juga bernasab (hubungan hukum) dengan lelaki yang memiliki tempat tidur yang sah. Sebab, ia adalah suami sah dari ibu kandungnya. Sementara, perzinaan tidak pernah mengakibatkan adanya hubungan nasab anak terhadap bapaknya karena pezina hanya layak diberi hukuman. Jika pernikahan sah, anak yang dilahirkan bernasab pada ibu dan bapaknya, kecuali karena perzinahan anak hanya bernasab dengan ibunya.
Pasal 42 Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan memberikan definisi bagi anak yang sah yaitu anak yang dilahirkan dalam atau sebagai akibat perkawinan yang sah.
Sedangkan Pasal 250 KUHPerdata menentukan bahwa tiap-tiap anak yang dilahirkan atau ditumbuhkan sepanjang perkawinan, memperoleh si suami sebagai bapaknya. Berdasarkan kedua ketentuan di atas, keabsahan suatu perkawinan sangat menentukan kedudukan hukum dari anak-anak, anak yang dilahirkan atau ditumbuhkan sepanjang perkawinan, memperoleh si suami sebagai bapaknya. Berdasarkan kedua ketentuan di atas, keabsahan suatu perkawinan sangat menentukan kedudukan hukum dari anak-anak.
B. Kedudukan Anak Luar Kawin
Berdasarkan Pasal 280 KUHPerdata, seorang anak luar kawin akan memiliki hubungan keperdataan dengan orang tuanya apabila telah diakui secara sah. Dengan demikian, apabila seorang anak luar kawin tidak diakui oleh orang tuanya, maka ia tidak akan memiliki hubungan keperdataan baik dengan bapak maupun ibu biologisnya.
Namun, menurut Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan kedudukan anak luar kawin demi hukum memiliki hubungan keperdataan dengan ibunya dan keluarga ibunya, sebagaimana diatur dalam Pasal 43 ayat (1) Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. Hanya saja, dalam ayat (2) disebutkan bahwa Kedudukan anak luar kawin tersebut akan diatur lebih lanjut dalam suatu peraturan pemerintah yang sampai sekarang belum diundangkan oleh pemerintah.Dengan demikian, berdasarkan Pasal 66 Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, maka berlakulah ketentuan yang lama dalam hal ini KUHPerdata.
Sehingga kedudukan anak luar kawin secara hukum setelah berlakunya Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan tetap diperlukan suatu pengakuan untuk menciptakan hubungan keperdataan antara seorang anak luar kawin dengan orang tuanya.
 Pengakuan terhadap anak luar kawin, dapat dilakukan dengan :
1.    Pengakuan sukarela
Pengakuan sukarela yaitu : suatu pengakuan yang dilakukan oleh seseorang dengan cara yang ditentukan undang-undang, bahwa ia adalah bapaknya (ibunya) seorang anak yang telah dilahirkan di luar perkawinan). Dengan adanya pengakuan, maka timbulah hubungan Perdata antara si anak dan si bapak (ibu) yang telah mengakuinya sebagaimana diatur dalam Pasal 280 KUHPerdata.
Pengakuan sukarela dapat dilakukan dengan cara-cara yang ditentukan dalam Pasal 281 KUHPerdata, yaitu :
1.    Dalam akta kelahiran si anak Menurut Pasal 281 ayat (1) KUHPerdata, untuk dapat mengakui seorang anak luar kawin bapak atau ibunya dan atau kuasanya berdasarkan kuasa otentik harus menghadap di hadapan pegawai catatan sipil untuk melakukan pengakuan terhadap anak luar kawin tersebut.
2.    Pengakuan terhadap anak luar kawin dapat pula dilakukan pada saat perkawinan orang tuanya berlangsung yang dimuat dalam akta perkawinan sebagaimana diatur dalam Pasal 281 ayat (2). Jo Pasal 272 KUHPerdata. Pengakuan ini akan berakibat si anak luar kawin akan menjadi seorang anak sah.
3.    Pengakuan terhadap anak luar kawin dapat dilakukan dalam akta oteintik seperti akta notaris sebagaimana diatur dalam Pasal 281 ayat (1) KUHPerdata.
4.    Dengan akta yang dibuat oleh pegawai catatan sipil, yang dibutuhkan dalam register kelahiran catatan sipil menurut hari Penanggalannya sebagaimana diatur dalam Pasal 281 ayat (2) KUHPerdata.
1.    Pengakuan Paksaan
Pengakuan anak luar kawin dapat pula terjadi secara paksaan, yakni dapat dilakukan oleh si anak yang lahir di luar perkawinan itu, dengan cara mengajukan gugatan terhadap bapak atau ibunya kepada Pengadilan Negeri, agar supaya anak luar kawin dalam arti sempit itu diakui sebagai anak bapak atau ibunya, ketentuan ini diatur dalam Pasal 287-289 KUHPerdata.
Anak luar kawin yang dapat diakui adalah anak luar kawin dalam arti sempit, yaitu anak yang terlahir dari ibu dan bapak yang tidak terikat perkawinan yang sah baik di antara mereka maupun dengan orang lain (tidak tergolong anak zina atau anak sumbang).
 Menurut KUHPerdata ahli waris yang berhak mewaris dapat dibagi menjadi 4 (empat) golongan, yaitu :
1.    Golongan I : Anak, atau keturunannya dan janda/duda, yang jumlah bagiannya ditetapkan di dalam Pasal 852, 852a, 852b, dan 515 KUHPerdata.
2.    Golongan II : Orang tua (bapak/ibu), saudara-saudara atau keturunannya, yang jumlah bagiannya ditetapkan di dalam pasal 854, 855, 856, dan 857 KUHPerdata.
3.    Golongan III : Kakek dan nenek, atau leluhur dalam garis lurus terus ke atas, yang jumlah bagiannya ditetapkan di dalam Pasal 853, 858 ayat (1) KUHPerdata.
4.    Golongan IV : Sanak keluarga di dalam garis menyamping sampai tingkat ke-6 yang jumlah bagiannya ditetapkan di dalam Pasal 858 ayat (2), 861, 832 ayat (2), 862, 863, 864, 856 dan 866 KUHPerdata.
 C. Peran Notaris dalam Pembuatan Akta Warisan untuk Anak Luar Kawin
Perjanjian-perjanjian yang dapat digunakan dan dibuat untuk menyelesaikan sengketa waris apabila terdapat anak luar kawin adalah dengan membuat:
1.    Akta Pembatalan, merupakan akta yang memuat kesepakatan para ahli waris untuk membatalkan Akta Pembagian Waris yang telah pernah dibuat sebelumnya dan untuk kemudian dibuat Akta Pembagian Waris yang baru, dalam akta ini anak luar kawin yang dahulu belum masuk sebagai ahli waris, dicantumkan sebagai ahli waris dengan bagian sesuai yang telah ditentukan oleh undang-undang;
2.    Akta Perdamaian, akta ini merupakan kesepakatan ahli waris untuk menyelesaikan sengketa waris dengan cara bermufakatan, dan membagi waris menurut undang-undang.
3.    Akta Perjanjian Pelepasan Hak Tuntutan, pembuatan akta ini merupakan solusi dari sengketa hak waris dalam pewarisan yang di dalamnya terdapat anak luar kawin yang dahulu pada saat pembuatan Akta Pembagian Waris tidak masuk sebagai ahli waris dan tidak memperoleh haknya. Akta Perjanjian Pelepasan Hak Tuntutan, dibuat tanpa membatalkan Akta Pembagian Waris yang telah dibuat, melainkan dalam akta ini anak luar kawin tersebut membuat pernyataan bahwa ia telah melepaskan segala haknya atas harta warisan dan tidak akan menuntut ahli waris lainnya atas harta warisan. Dalam akta ini juga diperjanjikan untuk itu si anak luar kawin mendapatkan kompensasi dari ahli waris yang lain sesuai dengan kesepakatan di antara para ahli waris.
IV.   Penutup.
Dengan adanya putusan Mahkamah Konstitusi tersebut di atas, maka diakuinya anak luar kawin (hasil biologis) sebagai anak yang sah berarti akan mempunyai hubungan waris dengan bapak biologisnya tanpa harus didahului dengan pengakuan dan pengesahan, dengan syarat dapat dibuktikan adanya hubungan biologis antara anak dan bapak biologis berdasarkan ilmu pengetahuan, misalnya melalui hasil tes DNA. Namun demikian, apabila ada penyangkalan mengenai anak luar kawin ini dari anak-anak ahli waris yang sah, menurut saya, maka dalam hal ini tetap perlu dimohonkan Penetapan Pengadilan mengenai status anak luar kawin tersebut sebagai ahli waris yang sah.

Mengharapkan pemerintah dengan putusan MK tersebut membuat sinkronisasi hukum dan peraturan perundang undangan yang berkaitan dengan perkawinan menurut agama dan kepercayaannya  sehingga tidak menimbulkan pendapat/opini yang tumpang tindih yang menimbulkan banyak masalah baru dan diharapkan penegakkan hukum serta rasa keadilan di masyarakat dapat terwujud.

* Notaris-PPAT-Pejabat Lelang DKI Jakarta, Majelis Pengawas Notaris Daerah Jakarta,Dosen Magister Kenotariatan & Pasca Sarjana Hukum, Dosen Diklat Perbankan/BUMN, Tenaga Profesional Bidang Hukum dan HAM Lemhannas RI

Selasa, 17 April 2012

prinsip-prinsip hukum waris


BAB I
PENDAHULUAN
1.LATAR BELAKANG
Dasar Hukum waris positif yang berlaku di indonesia Adalah hukum adat, hukum Islam dan hukum warisan Belanda atau civil law yang banyak termuat dalam KUHPerdata. Hukum adat merupakan norma-norma yang tumbuh dan berkembang secara alamiah di dalam pergaulan hidup masyarakat Indonesia. Hukum tersebut merupakan refleksi dari sistem budaya yang dimiliki oleh masyarakat setempat. Sedangkan hukum  Islam adalah hukum yang bersumber dari dan menjadi bagian dari agama Islam. Konsepsi Hukum  Islam yaitu dasar dan kerangka hukumnya ditetapkan oleh Allah, tidak hanya mengatur hubungan manusia dengan manusia lain dan benda dalam masyarakat, tetapi juga hubungan-hubungan lainnya karena manusia yang hidup di dalam masyarakat itu mempunyai berbagai hubungan. Sistem hukum lainnya adalah sistem hukum Barat yang terdapat pada KUHPerdata atau Burgerlijk Wetboek (BW). Indonesia sebagai bekas jajahan Belanda pernah memberlakukan KUHPerdata sebagai sumber hukum atas dasar asas concordance, di mana Negara jajahan harus menerapkan hukum sesuai dengan apa yang diterapkan di negaranya (Belanda).
Pandangan hukum adat terhadap hukum kewarisan sangat ditentukan oleh persekutuan hukum adat itu sendiri. Beberapa persekutuan itu diantaranya pertama persekutuan genealogis, berdasarkan keturunan dan persekutuan territorial berdasarkan kependudukan yakni persekutuan hukum yang dipengaruhi baik faktor geneologis maupun faktor teritorial. Dalam persekutuan yang geneologis, anggota-anggotanya merasa diri terikat satu sama lain, karena mereka berketurunan dari nenek moyang yang sama, sehingga diantara mereka terdapat hubungan keluarga. Sementara persatuan hukum territorial anggota-anggotanya merasa terikat satu sama lain,karena mereka bertempat kedudukan di suatu daerah yang sama. Persekutuan semacam ini disebut desa atau gampong di Aceh dan sebagian daerah melayu Sumatera. Sedangkan yang terkhir persekutuan hukum yang dipengaruhi territorial dan geneologis terdapat di beberapa daerah seperti Mentawai yang disebut Uma, di Nisas disebut Euri di Mingkabau disebut dengana Nagari dan di Batak disebut Kuria atau Huta.
Dalam persekutuan geneologis ini terbagi pula menjadi tiga tipe tata susunan yaitu patrilineal (kebapaan), matrilineal (keibuan) dan parental (bapak-ibu). Menurut sistem patrilineal ini keturunan diambil dari garis bapak, yang merupakan pancaran dari bapak asal dan menjadi penentu dalam keturunan anak cucu. Dalam hal ini perempuan tidak menjadi saluran darah yang menghubungkan keluarga. Wanita yang kawin dengan laki-laki ikut dengan suaminya dan anaknya menjadi keluarga ayahnya. Sistem pertalian seperti ini terjadi di Nias, Gayo, Batak dan sebagian di Lampung, Bengkulu, Maluku dan Timor. Dalam hukum waris, persekutuan ini lebih mementingkan keturunan anak laki-laki daripada anak perempuan.
Sementara matrilineal adalah keturunan yang berasal dari Ibu, sehingga yang menjadi ukuran hanyalah pertalian darah dari garis ibu yang menjadi ukuran dan merupakan suatu persekutuan hukum. Wanita yang kawin tetap tinggal dan termasuk dalam gabungan keluarga sendiri, sedangkan anak-anak mereka masuk dalam keturunan ibunya. Sistem matrilineal ini terdapat di Minangkabau, Kerinci, Semendo dan beberapa daerah Indonesia Timur. Sesuai dengan persekutuannya, matrilineal lebih menghargai ahli waris dari pihak perempuan daripada ahli waris dari pihak laki-laki. Selama masih ada anak perempuan, anak laki-laki tidak mendapatkan tirkah.
Sedangkan yang terakhir, pertalian darah dilihat dari kedua sisi, bapak dan ibu serta nenek moyang. Kedua keturunan sama-sama penting bagi persekutan ini. Keturunan berdasarkan bapak-ibu ini menurut Nani Soewondo merupakan garis keturunan yang paling tua umurnya dan paling umum di Indonesia. Salah satu daerah yang menganut sistem ini adalah Jawa. Menurut Hazairin dalam masyarakat bila diperhatikan setiap orang berhak mengambil garis keturunannya ke atas maupun ibu atau ayahnya. Dengan demikian, bagi orang Jawa keturunan bukan saja melalui anaknya yang laki-laki atau perempuan saja, tetapi juga sampai keturunan yang lahir dari cucunya laki-laki maupun perempuan sehingga dapat dipahami bahwa saluran-saluran daerah dalam masyarakat Jawa biasa menjadi penghubung keturunannya dan Menghasilkan keluarga bagi dirinya. Dengan sitem persekutuan ini, maka hukum waris pun tidak hanya menganggap kepada satu jenis kelamin anak saja tetapi baik anak perempuan maupun anak laki mempunyai hak atas harta warisan.
Dalam hukum waris Islam, penempatan seseorang menjadi ahli waris didasarkan pada adanya perkawinan, hubungan darah dan memerdekakan hamba (saat ini sudah tidak banyak dibahas lagi kecuali dalam fiqh konvensional). Adanya perkawinan akan menimbulkan hak waris antara suami dan istri, sedangkan hubungan darah akan menyebabkan hak mendapatkan waris bagi kedua orang tua dan anak-anak. Jika ahli waris ada maka yang menjadi ahli waris hanyalah suami atau istri, anak, ibu dan bapak. Perbedaan yang menonjol dari hukum waris lainnya, dalam hukum Islam bagian anak perempuan mendapatkan setengah dari anak laki-laki. Titik singgung antara hukum Islam dengan hukum adat terletak pada pandangan adanya “keistimewaan” antara anak laki-laki dan perempuan. Dalam hukum adat dengan sistem matrilineal, lebih mengedepankan anak perempuan, sementara hukum waris dalam madzhab sunny (madzhab Hanafi,Maliki, Syafi'i, dan Hambali) cenderung bersifat patrilineal. Sementara itu Hazairin yang berusaha menggagas fikih dengan corak keIndonesiaan berusaha membangun hukum waris dengan corak bilateral.
 Perbedaan yang cukup tajam antara hukum waris Islam dan KUHPerdata anak laki-laki berbanding sama dengan anak perempuan. Adapun tertib keluarga yang menjadi ahli waris dalam KUHPerdata, yaitu: Isteri atau suami yang ditinggalkan dan keluarga sah atau tidak sah dari pewaris. Ahli waris menurut undang undang atau ahli waris ab intestato berdasarkan hubungan darah terdapat empat golongan, yaitu:
a. Golongan pertama, keluarga dalam garis lurus ke bawah, meliputi anak-anak beserta keturunan mereka beserta suami atau isteri yang ditinggalkan / atau yang hidup paling lama. Suami atau isteri yang ditinggalkan / hidup paling lama ini baru diakui sebagai ahli waris pada tahun 1935, sedangkan sebelumnya suami / isteri tidak saling mewarisi;
b. Golongan kedua, keluarga dalam garis lurus ke atas, meliputi orang tua dan saudara, baik laki-laki maupun perempuan, serta keturunan mereka. Bagi orang tua ada peraturan khusus yang menjamin bahwa bagian mereka tidak akan kurang dari ¼ (seperempat) bagian dari harta peninggalan, walaupun mereka mewaris bersama-sama saudara pewaris;
 c. Golongan ketiga, meliputi kakek, nenek, dan leluhur selanjutnya ke atas dari pewaris;
 d. Golongan keempat, meliputi anggota keluarga dalam garis ke samping dan sanak keluarga lainnya sampai derajat keenam.
Dari ketiga sistem pewarisan dari hukum positip diatas terdapat perbedaan prinsip yang sangat mendasar dari ketiga sistem hukum diatas.


 2.RUMUSAN MASALAH
Berdasarkan latar belakang diatas kami menemukan beberapa rumusan masalah sebagai bahan analisa kami sebagai berikut:
1.apakah prinsip-prinsip yang terkandung dalam hukum waris positif di indonesia?
2.bagaimanakah perbandingan ketiga hukum waris positif tersebut?






















BAB II
PEMBAHASAN

1.      Prinsip – prinsip hukum waris positif yang ada di Indonesia
           
Secara umum, pengertian hukum waris yang didasarkan pada pasal 830 Kitab Undang-
Undang hukum perdata dan dapat disimpulkan bahwa Hukum waris adalah suatu rangkaian ketentuan-ketentuan, dimana, berhubung dengan meninggalnya seseorang, akhibat-akhibatnya di dalam bidang kebendaan, diatur, yaitu: akhibat dari beralihnya harta peninggalan dari seorang yang meninggal, kepada ahli waris baik di dalam hubungannya
Antara mereka sendiri maupun dengan pihak ke tiga. Terdapat 3 sistem hukum waris positif yang terdapat di Indonesia yaitu :

a)      Hukum waris adat
Hukum waris adat adalah hukum adat yang memuat garis-garis ketentuan tentang sistem dan azas hukum waris, tentang harta warisan, pewaris dan waris serta cara bagaimana harta warisan itu dialihkan penguasaan dan pemilikannya dari pewaris kepada waris. Hukum waris adat sebenarnya adalah hukum penerusan harta kekayaan dari suatu generasi
Kepada keturunannya. 

Adapun pendapat para ahli hukum  adat tentang hukum waris adat adalah sebagai berikut:

1.      Ter Haar menyatakan: Hukum waris adat adalah aturan-aturan hukum yang mengenai cara bagaimana dari abad ke abad penerusan dan peralihan dari harta kekayaan yang berwujud
dan tidak berwujud dari generasi ke generasi”
2.      Menurut Wirjono, pengertian warisan ialah bahwa warisan itu adalah soal apakah dan bagaimanakah berbagai hak-hak dan kewajiban-kewajiban tentang kekayaan seseorang pada waktu ia meninggal dunia akan beralih kepada orang lain yang masih hidup. 
Jadi menurut wirjono, istilah kewarisan diartikan sebagai cara penyelesaian bukan diartikan bendanya. Kemudian cara penyelesaian itu sebagai akhibat dari kematian seseorang. Sehingga waris dapat dilakukan setelah ada orang (pewaris) yang meninggal.
3.       Soepomo yang menyatakan: “Hukum adat waris memuat peraturan-peraturan yang mengatur proses meneruskan serta mengoperkan barang-barang harta benda dan barang-barang yang tidak berwujud benda (immateriele goederen) dari suatu angkatan manusia (generatie) kepada turunannya. Proses ini telah mulai dalam waktu orang tua masih hidup. Proses tersebut tidak menjadi akuut oleh sebab orang tua meninggal dunia. Memang meninggalnya bapak atau ibu adalah suatu peristiwa yang penting bagi proses itu, akan tetapi sesungguhnya tidak mempengaruhi secara radikal proses penerusan dan pengoperan harta benda dan harta bukan benda tersebut” 

Dengan demikian hukum waris itu memuat ketentuan-ketentuan yang mengatur cara penerusan dan peralihan harta kekayaan dari pewaris kepada para warisnya. Cara penerusan dan peralihan harta tersebut dapat berlaku sejak pewaris masih hidup atau setelah pewaris maninggal dunia. Bentuk peralihannya dapat dengan cara penunjukan, penyerahan kekuasaan atau penyerahan pemilikan atas bendanya oleh pewaris kepada waris.
Prinsip hukum waris adat menurut Djojodigoeno adalah air mengalir ke bawah, atau menggunakan teori keran air. Teori ini menyebutkan kalau setiap ada kematian maka terbukalah warisan. Air selalu mengalir dari tempat yang tinggi menuju tempat yang rendah, sama dengan warisan menurut hukum adat warisan jatuh dari suatu generasi ke generasi berikutnnya berarti ada perbedaan waktu antara satu generasi dengan generasi lainnya , dari generasi yang lebih tua ke generasi yang muda. Air tidak akan naik lagi walaupun keran sudah tertutup atau tidak ada ahli warisnnya, air akan mencari keran yaang lain atau mencari ahli waris lainnya yang lebih berhak. Apabila terjadi kasus dimana sang anak meninggal terlebih dahulu dari pada orang tuannya maka warisan tersebut jatuh ke tangan anak si ahliwaris tersebut dengan bagian sebesar yang harusnnya
di terima orang tuannya yang meninggal tersebut. 

Sistem keturunan dilihat dari segi garis keturunan maka perbedaan lingkungan hukum adat itu dapatdi bagi menjadi  3 kelompok yaitu :
a.       Sistem patrilinial (kelompok garis kebapakan )
Sistem keturunan yang ditarik menurut garis bapak, dimana kedudukan pria lebih menonjol pengaruhnya dari kedudukan wanita di dalam pewarisan. Suku-suku yang bergaris keturunan kebapakan antara lain adalah Gayo, Alas, Batak, Nias, Lampung, Buru, Seram, Nusa
Tenggara dan irian.
b.      Sistem matrilineal (kelompok garis keibuan)
Sistem keturunan yang ditarik menurut garis ibu, dimana kedudukan wanita lebih menonjol pengaruhnya dari kedudukan pria di dalam pewarisan. Suku-suku yang bergaris keturunan ini
adalah minangkabau, enggano.

c.        Sistem Parental atau bilateral (kelompok garis ibu – bapak )
Sistem yang ditarik menurut garis orang tua, atau menurut garis dua sisi (bapak-ibu), dimana kedudukan pria dan wanita tidak dibedakan di dalam pewarisan. Adapun suku yang bergaris
Keturunan ini adalah Jawa, Sunda, Madura, dan Melayu, sistem pewarisan individual
Sistem pewarisan dimana setiap waris mendapatkan pembagian untuk dapat menguasai dan atau memiliki harta warisan menurut bagiannya masing-masing. Setelah harta warisan itu diadakan pembagian maka masing-masing waris dapat menguasai dan memiliki bagian harta
Warisannya untuk diusahakan dan di nikmati.

 Sistem pewarisan kolektif Pengalihan kepemilikan harta peninggalan dari pewaris kepada waris sebagai kesatuan yang tidak terbagi-bagi penguasaan dan pemilikannya, melainkan setiap waris berhak untuk mengusahakan menggunakan atau mendapat hasil dari harta peninggalan itu. Sedangkan cara pemakaiannya diatur bersama atas dasar musyawarah dan mufakat oleh semua anggota kerabat yang berhak atas harta peninggalan dibawah bimbingan
Kepala kerabat.

b)      Hukum Waris Barat atau Hukum Waris Perdata
Di dalam sistem Hukum Perdata Barat, Hukum Waris di muat dalam Buku II KUH Perdata mengenai Benda. Hal ini terjadi karena pembuat undang undang telah memasukan hak mewaris sebagai hak kebendaan dan memberlakukan hak ahli waris sebagai suatu hak kebendaan.

Penempatan hukum Waris dalam Buku II tersebuat adalah merupakan akibat dari pengaruh Hukum Romawi dan Hukum Germania pada hukum perdata Perancis (code
Civil), BW, dan KUH Perdata Indonesia.

Hukum waris menurut Pitlo adalah kumpulan aturan hukum yang mengatur mengenai kekayaan karena meninggalnnya seseorang yaitu Perpindahan kekayaan yang di tinggalkan oleh si meninggal dan akibat dari perpindahan ini bagi orang-orang yang memperolehnnya, baik dalam hubungan di antara mereka maupun hubungan antara mereka dengan pihak ke 3.

Prinsip-prinsip kewarisan menurut sistem hukum barat adalah :
·         Pewarisan terjadi karena meninggalnya pewaris dengan sejumlah harta;
·         Hak-hak dan kewajiban dibidang harta kekayaan “beralih” demi hukum. Hal ini berdasarkan Pasal 833 KUHPerdata, yang menimbulkan hak untuk menuntut (Heriditatis Petitio);
·         Yang berhak mewaris menurut UU adalah mereka yang memiliki hubungan darah, hal ini berdasarkan Pasal 832 KUHPerdata;
·         Harta tidak boleh dibiarkan tidak terbagi; dan
·         Setiap orang cakap untuk mewaris (terkecuali ketentuan pada Pasal 838 KUHPerdata).

c)      Prinsip-prinsip Hukum Waris Islam
Hukum Waris menduduki tempat amat penting dalam Hukum Islam karena setiap orang pasti akan mati maka di butuhkan aturan untuk mengatur perpindahan harta yang di tinggalkan kepada orang orang yang berhak atas harta tersebut. Sumber-sumber Hukum Waris Islam adalah :
1.      Al-Qur’an ( surat An-Nisa dan surat Al-Anfal ). Dalam surat An-Nisa menegaskan tentang kuatnnya hubungan kerabat karena pertalian darah, dan pernyataan tersebut di perkuat lagi oleh surat Al-Anfal ayat 75 yaitu Hak kerabat karena pertaian darah, sebagian lebih di utamakan dari sebagian yang lain.
2.      Sunnah Rasul
Meskipun Al-Quran menyebutkan secara terperinci ketentuan-ketentuan bagian ahli waris maka Sunnah Rasul menyebutkan pula hal-hal yang tidak di sebutkan dalam Al-Quaran.
3.      Ijtihad
Beberapa hal masih di perlukan adannya ijtihad, yaitu terhadap hal-hal yang tidak di tentukan di dalam Al-Quran dan Sunnah rasul.

Hukum waris islam adalah Hukum yang mengatur segala sesuatu yang berkenaan dengan peralihan hak dan atau kewajiban atas harta kekayaan seseorang setelah dia meninggal dunia kepada ahli warisnnya.

Prinsip-prinsip Hukum Waris Islam
a.  Prinsip Ijbari, yaitu bahwa peraliban harta seseorang yang telah meninggal dunia kepada yang masih hidup berlaku dengan sendirinya.
b.  Prinsip Individual, yaitu bahwa harta warisan dapat dibagi-bagikan kepada ahli waris untuk dimiliki secara perseorangan.
c.  Prinsip Bilateral, artinya bahwa baik laki-laki maupun perempuan dapat mewaris dari kedua belah pihak garis kekerabatan, atau dengan kata lain jenis kelamin bukan merupakan penghalang untuk mewarisi atau diwarisi.
d.  Prinsip kewarisan hanya karena kematian, yakni bahwa peralihan harta seseorang kepada orang lain dengan sebutan kewarisan berlaku setelah yang mempunyai harta tersebut meninggal dunia. Dengan demikian, tidak ada pembagian warisan sepanjang pewaris masih hidup.
Selain prinsip prinsip di atas ada pula beberapa prinsip pewarisan menurut hukum Islam yaitu:
1.      Hukum waris Islam menempuh jalan tengah antara pemberi kebebasan penuh kepada orang untuk memindahkan harta peninggalannya dengan jalan wasiat kepada orang yang menghendaki dan melarang sama sekali pembagian harta peninggalan yang tidak mengakui hak milik perorangan, yang dengan sendirinnya tidak mengenal sistem pewarisan.
2.      Warisan dalah ketetapan hukum yang mewariskan tidak dapat menghalangi ahli waris dari haknnya atas warisan, dan ahli waris berhak atas harta warisan tanpa perlu kepada pernyataan menerima dengan sukarela atau atas keputusan hakim.
3.      Warisan terbatas dalam lingkungan keluarga, dengan adannya hubungan perkawinan atau karena hubungan nazab/keturunan yang sah.
4.      Hukum waris islam lebih cenderung untuk membagikan harta warisan kepada sebanyak mungkin ahli waris, dengan memberikan bagian-bagian tertentu kepada beberapa ahli waris.
5.      Hukum waris islam tidak membedakan hak anak-anak atas harta warisan, hak anak-anak yang sudah besar, yang masih kecil dan yang baru saja lahur, semuannya berhak atas harta warisan orang tuannya. Tetapi perbedaan besar kecilnnya kewajiban yang harus di tunaikan dalam keluarga.
6.      Hukum Waris Islam membedakan besar kecil bagian-bagian tertentu ahli waris diselaraskan dengan kebutuhannya dalam hidup sehari-hari, disamping memandang jauh dekat hubungan dengan mayit (Ahmad Azhar Basyir,1977).


2.      Perbandingan Hukum Waris Positif yang ada di Indonesia
Seperti yang penulis telah sampaikan di atas, Hukum Waris Positif yang terdapat di Indonesia ada 3 yaitu Hukum Waris Adat yang berlaku untuk golongan Pribumi, Hukum waris Perdata yang berlaku untuk golongan Timur Asing dan Hukum Waris Islam yang berlaku untuk umat Islam, dan apabila seseorang berdada pada 2 atau tiga sistem hukum tersebut maka ia dapat melaksanakan Choice of law atau memilih sistem hukum manakah yang akan ia pakai.

Perbandingan Hukum waris positif yang ada di Indonesia jika di lihat dari unsur-unsur suatu pewarisan yaitu Pewaris, Warisan, dan Ahli waris adalah :
1)      Pewaris
b.      Dalam hukum waris adat si pewaris tidak harus meninggal untuk membagi harta warisannya atau ketika meninggal harta warisan tersebut belum tentu bisa di wariskan karena harta tersebut tidak di bagikan melainkan hannya di operkan ke generasi berikutnnya.
c.       Dalam hukum waris islam pewarisan baru dapat terjadi jika ada yang meninggal terlebih dahulu, atau warisan akan terbuka jika seseorang telah meninggal.
d.      Dalam Hukum Waris Perdata untuk adannya pewarisan harus ada yang meninggal terlebih dahulu karena pewarisan menurut BW yaitu mengenai perpindahan dan akibat hukum dari kekayaan orang yang sudah meninggal.
2)      Warisan
a.       Hukum Waris Adat : Harta warisan dapat berupa Imateriin dan Materiil, Imateriil adalah harta yang tidak dapat di nilai dengan uang( Jabatandan Title). Harta warisan yang berdifat Imateriil dapat di cabut haknnya jika ahli waris tersebut melanggar ketentuan ketentuan adatnnya. Di dalam waris adat di kenal adannya harta warisan atau harta yang di tinggalkan oleh pewaris yang menjadi Hak para ahli warisnnya termasuk pemberian- pemberian kepada anaknnya selama ia masih hidup , dan Harta Peninggalan harta yang secara nyata di tinggalkan si pewaris pada saat ia meninggal.
b.      Hukum Waris Islam : Hannya harta yang bersifat Materiil sajalah yang dapat di wariskan atau hannya yang dapat di nilai dengan uang yang dapat di wariskan, dan harta warisan tersebut harus diuangkan dan secepatnnya di bagi agar tidak tejadi peristiwa saling memakan harta anak yatim.
c.       Hukum Waris Perdata: Hal-Hal yang dapat di wariskan adalah yang dapat di nilai dengan uang, menurut pasal 833 yang dapat di wariskan adalah hak milik atas segala barang, segala Hak dan segala piutang si yang meninggal namun pasal ini kurang menyebutkan kata hutang, karena hutang menurut sistim kewarisan perdata dapat di wariskan juga.
a.       Hukum Waris Adat : Ahli waris dalam hukum adat adalah generasi berikutnnya dari si pewaris dan di sesuaikan dengan pola sistem kekerabatannya, jika polannya adalah parental maka kedudukan antara laki-laki dengan perempuan adalah seimbang, jika polannya Patrilineal maka silsilah yang di lacak dari keturunan laki lakim dan jika Matrilineal adalah kebalikan dari Patrilineal.
b.      Hukum waris Islam :  Ahli waris hannyalah yang mempunnyai ikatan darah sesuai dengan surat An-Nisa dan Al-Anfal, dan yang mempunnyai hubungan perkaeinan dan Nasab.
c.       Hukum waris Perdata :  Menurut BW pasal 836 syarat agar ia dapat menjadi ahli waris apabila ia telah lahir dan hidup namun ada pengecualiannya di ps.2 BW bayi yang masih ada dalam kansungan di anggap telah ada apabila kepentingannya menghendaki, kepentingan yang di maksud di sini adalah dalam hal pewarisan.


BAB III
KESIMPULAN
Dalam hukum waris adat di Indonesia itu mempunyai corak sendiri berbeda dengan hukum waris islam atau hukum waris barat. Peralihan harta kekayaan pada hukum waris adat tidak memandang pewaris sudah meninggal dunia atau masih hidup. Sehingga hukum waris adat dipandang sebagai peralihan harta kekayaan dari suatu generasi kepada keturunannya tanpa memperhitungkan sudah meninggal atau masih hidupnya pewaris. Berbeda dengan hukum Waris Islam dan Hukum Waris Perdata pewarisan terjadi sebagai akibat dari adannya kematian.
















DAFTAR PUSTAKA
Bakry, Hasbullah. 1990. Pedoman Islam di Indonesia. Jakarta: Penerbit Universitas
       Indonesia (UI Press).

Hadikusuma, Hilman. 1990. Hukum Waris Adat. Bandung: PT. Citra aditya Bakti.

Soekanto, Soejono.1986. Hukum Adat Indonesia. Jakarta: CV. Rajawali.

Sudarsono. 1991. Hukum Waris Dan Sistem Bilateral. Jakarta: PT. Melton Putra.

neoboard