Jumat, 31 Mei 2013
Jumat, 11 Mei 2012
karya bagus
kopi pahit part 2.
karya: fauzy zulvikar
seorang insan terhenyak pada segenap ruhani yang ada.
padi di tebas sang tani.
kalau ku kembali seorang feodal yang masih enak menyeruput kopinya.
peluh membasahi ragawinya.
sejarah masih terus berulang
seorang pintar yang nyaman akan sebuah pemikiran yang mapan.
perakitan untuk membangun hal yang sama.
tidak mencoba merubah dunia.
seorang anak pun bertanya.
apakah ini salah.?
gurupun menjawab
sudah diam saja dan nikmatilah.
tidak ada yang salah sebuah telur yang dia tetas dibiarkan terbang melayang.
anak itu berjalan dengan terhuyung
dia teriak dalam hati apakah ada yang salah?
menatap nanar langit yang jadi saksinya
masih teriak dengan perbuatan.
APAKAH INI SALAH?
membangun bagai binatang yang berfikir.
ditengah binatang yang bangga akan kemapanan dan harta.
menyakitkan segenap hati merindunya.
seorang wanita cantik membawa mimpi baru.
jasmani yang berjalan pada satu titik.
sistem kerja otak tak lagi bisa dijadikan kawan.
dia mencari seorang wanita cantik pembawa mimpi baru menatap nanar.
kosong hanya melihat nya.
menghimpun tenaga bagai benteng yang tak bisa diruntuhkan.
menghancurkan kemapanan yang telah terbangun.
Sabtu, 21 April 2012
MENGENANG SOSOK HAKIM YANG BERSAHAJA.
Mungkin kita pernah mendengar sosok bismar siregar dari
para dosen kita maupun dari media massa sesosok hakim yang terus berada pada
rel keadilan.hakim yang mungkin tidak ada bandingannya. Dalam melaksanakan
putusan beliau sangat mempertimbangkan 3 tujuan hukum(keadilan,kepastian dan
kemanfaatan-red).apabila ada persinggungan diantara ketiganya maka beliau
mendahulukan keadilan. Tak jarang keputusan yang beliau ambil sangat lah kontrofersial.seperti
yang penulis kutip dari media online
detik.com bahwa bismar siregar pernah memutus seorang wanita lajang yang telah
dijanjikan menikah dengan kekasihnya yang lajang pula dan ternyata wanita tersebut
telah melakukan hubungan layaknya suami-istri dan hamil oleh kekasihnya dan
kekasihnya pun tidak mau menikahi kekasinya tersebut.dan sang pria divonis
dengan menggunakan pasal 378 KUHP yang berbunyi :
“Barang siapa dengan maksud
untuk menguntungkan diri sendiri atau orang lain secara melawan hukum, dengan
memakai nama palsu atau martabat palsu, dengan tipu muslihat, ataupun rangkaian
kebohongan, menggerakkan orang lain untuk menyerahkan barang sesuatu kepadanya,
atau supaya memberi hutang maupun menghapuskan piutang diancam karena penipuan
dengan pidana penjara paling lama empat tahun.”
Padahal hal tersebut ditujukan
untuk harta benda dan kemaluan wanita disamakan dengan dengan harta benda. Dapat
dikatakan bahwa putusan beliau sangatlah mempertimbangkan aspek keadilan baik
pelaku maupun korban.
Bismar
siregar memiliki track record yang sangat baik seperti yang penulis kutip dalam media online media indonesia beliau Hakim agung yang tidak
sekolah dasar dan SMP ini mengawali karirnya menjadi jaksa di Kejari Palembang
(1957-1959)danKejari Makassar/Ambon(1959-1961).Karir hakimnya di awali
Pengadilan Negeri Pangkalpinang (1961-1962), hakim di Pengadilan Negeri
Pontianak (1962-1968), panitera Mahkamah Agung RI (1969-1971), Ketua Pengadilan
Negeri Jakarta Utara/Timur (1971-1980), Hakim Tinggi Jawa Barat, Bandung
(1981-1982), Ketua Pengadilan Tinggi Sumatera Utara, Medan (1982-1984) dan
Hakim Agung di Mahkamah Agung RI (1984 - 1 Desember 1995). Yang dijalani beliau
dengan sangat baik.
Bismar
siregar Sesosok hakim yang bersahaja dalam kehidupan pribadinya ini.telah tiada
tetapi segala teladan yang beliau toreh dalam sejarah penegakan hukum keadilan telah menjadi teladan yang baik seorang seperti yang dikutip dari detik.com guru besar
Universitas diponegoro (UNDIP) yaitu Prof Satjipto Rahardjo, menilai Bismar
sebagai orang yang lurus.
Setiap memutus perkara Bismar selalu bertanya kepada hati nuraninya untuk tahu apakah orang yang akan divonisnya jahat atau tidak. Setelah itu, dia baru mencari pasal hukum untuk mendasari keputusannya. Tak hanya nurani dan UU, putusan yang dikeluarkan Bismar juga berpatok pada ajaran dan kitab suci agama terdakwa.
Bismar adalah sosok bersahaja. Tutur bicaranya lembut dan menyejukkan. Dia dikenal sebagai orang yang kerap memberikan petuah-petuah bijak. Mungkin perjalanan hidup yang tidak selalu lurus dan mulus membentuk Bismar menjadi orang yang berkarakter.
Setiap memutus perkara Bismar selalu bertanya kepada hati nuraninya untuk tahu apakah orang yang akan divonisnya jahat atau tidak. Setelah itu, dia baru mencari pasal hukum untuk mendasari keputusannya. Tak hanya nurani dan UU, putusan yang dikeluarkan Bismar juga berpatok pada ajaran dan kitab suci agama terdakwa.
Bismar adalah sosok bersahaja. Tutur bicaranya lembut dan menyejukkan. Dia dikenal sebagai orang yang kerap memberikan petuah-petuah bijak. Mungkin perjalanan hidup yang tidak selalu lurus dan mulus membentuk Bismar menjadi orang yang berkarakter.
kini
beliau pun telah wafat pada pada Kamis
meninggal pada pukul 12.25 WIB di RS Fatmawati, Jakarta Selatan, pada usia 84
tahun karena pendarahan otak.
Semoga
banyak teladan yang kita ambil dari sosok beliau. Dan muncul para penegak hukum
yang baik dan lebih berorientasi pada keadilan dan bisa menjadikan negara ini
lebih baik lagi. Selamat jalan “yang mulia”{ozy}(foto: beritadaerah.com)
Jumat, 20 April 2012
PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI TENTANG STATUS ANAK LUAR KAWIN
Oleh: Syafran Sofyan, S.H., Sp.N., M.Hum
I.
UMUM :
Mahkamah Konstitusi adalah lembaga tinggi negara
dalam sistem ketatanegaraan Indonesia yang merupakan pemegang kekuasaan kehakiman
bersama-sama dengan Mahkamah Agung. Pasal 24 ayat 2 Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD 1945) menyatakan, Kekuasaan kehakiman
dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan badan peradilan yang berada di
bawahnya dalam lingkungan peradilan umum, lingkungan peradilan agama,
lingkungan peradilan militer, lingkungan peradilan tata usaha negara, dan oleh
sebuah Mahkamah Konstitusi (MK).
Berdasarkan ketentuan tersebut, Mahkamah Konstitusi
merupakan salah satu pelaku kekuasaan kehakiman selain Mahkamah Agung.
Kekuasaan kehakiman merupakan kekuasaan yang merdeka untuk menyelenggarakan
peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan. Dengan demikian, Mahkamah
Konstitusi adalah suatu lembaga peradilan, sebagai cabang kekuasaan yudikatif,
yang mengadili perkara-perkara tertentu yang menjadi kewenangannya berdasarkan
ketentuan UUD 1945.
Berdasarkan pasal 24C ayat 1 UUD 1945 yang ditegaskan
kembali dalam pasal 10 ayat 1 huruf a sampai dengan d UU 24/2003, Kewenangan
Mahkamah Konstitusi adalah sebagai berikut :
1.
menguji undang-undang terhadap
UUD NRI Th.1945;
2.
memutus sengketa kewenangan
lembaga Negara yang kewenangannya diberikan oleh UUD NRI Th.1945;
3.
memutus pembubaran partai
politik;
4.
memutus perselisihan tentang
hasil pemilihan umum.
II. PUTUSAN MAHKAMAH
KONSTITUSI REPUBLIK INDONESIA
Nomor
46/PUU-VIII/2010, Tanggal 13 Februari 2012.
Putusan Mahkamah Konstitusi yang mengabulkan uji
materiil UU Perkawinan (UU No.1 Tahun 1974) yang diajukan Hj. Aisyah Mochtar
alias Machica binti H. Mochtar Ibrahim yang meminta puteranya Muhammad Iqbal
Ramadhan bin Moerdiono agar diakui sebagai anak almarhum Moerdiono, mantan
Menteri Sekretaris Negara di era Presiden Soeharto, memicu perseteruan antara
dirinya dengan keluarga almarhum Moerdiono.
Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 46/PUU-VIII/2010 yang
mengadili perkara konstitusi pada tingkat pertama dan terakhir, menjatuhkan
putusan dalam perkara permohonan pengujian Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974
tentang Perkawinan terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun
1945.
Berdasarkan Pasal 51 ayat 1 UU 24/2003 untuk
mengajukan perkara konstitusi si pemohon harus memiliki kedudukan hukum (legal
standing), sebagai pihak yang menganggap hak dan/atau kewenangan
konstitusionalnya dirugikan oleh berlakunya undang-undang, yaitu :
1.
perorangan warga Negara
Indonesia;
2.
kesatuan masyarakat hukum adat
sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip
Negara Kesatuan Republik Indonesia yang diatur dalam undang-undang;
3.
badan hukum public atau privat;
atau
4.
lembaga Negara
Dengan demikian, para pemohon dalam pengujian Undang-Undang terhadap
UUD 1945 harus menjelaskan dan membuktikan terlebih dahulu :
1.
kedudukannya sebagai para
pemohon sebagaimana dimaksud pasal 51 ayat 1 UU 24/2003
2.
kerugian hak dan/atau
kewenangan konstitusional yang diberikan oleh UUD 1945 yang diakibatkan oleh
berlakunya undang-undang yang dimohonkan pengujian.
Pemohon mengajukan uji materiil terhadap .
UUD 1945
|
UU No 1 Th 1974 tentang Perkawinan
|
|
Pasal 28 B ayat 1
“ Setiap orang berhak membentuk keluarga
dan melanjutkan keturunan melalui perkawinan yang sah “
|
Pasal 2 ayat 2
“ Tiap-tiap perkawinan dicatat menurut
peraturan perundang-undangan yang berlaku “
|
|
Pasal 28 B ayat 2
“ Setiap anak berhak atas kelangsungan
hidup, tumbuh, dan berkembang serta berhak atas perlindungan dari kekerasan
dan diskriminasi “
|
Pasal 43 ayat 1
“ Anak yang dilahirkan di luar perkawinan
hanya mempunyai hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya “
|
|
Pasal 28 D ayat 1
“ Setiap orang berhak atas pengakuan,
jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adilserta perlakuan yang sama
di hadapan hukum“
|
|
Mahkamah Konstitusi memberikan putusan mengabulkan
sebagian permohonan para pemohon. Pasal 2 ayat 2 UU Perkawinan tidak
dikabulkan sebab perkawinan yang dicatatkan adalah untuk mencapai tertib
administrasi.
Pencatatan secara administratif yang dilakukan Negara
dimaksudkan agar perkawinan, sebagai perbuatan hukum penting dalam kehidupan
yang dilakukan oleh yang bersangkutan, yang berimplikasi terjadinya akibat
hukum yang sangat luas, di kemudian hari dapat dibuktikan dengan bukti yang
sempurna dengan suatu akta otentik, sehingga perlindungan dan pelayanan oleh
Negara terkait dengan hak-hak yang timbul dari suatu perkawinan dapat
terselenggara secara tertib dan efisien. Artinya, dengan dimilikinya bukti
otentik akta perkawinan, hak-hak yang timbul sebagai akibat perkawinan dapat
terlindungi dan terlayani dengan baik, karena tidak diperlukan proses
pembuktian yang memakan waktu, uang, tenaga, dan pikiran yang lebih banyak,
seperti pembuktian mengenai asal-usul anak dalam pasal 55 UU perkawinan yang
mengatur bahwa bila asal-usul anak tidak dapat dibuktikan dengan akta otentik
maka mengenai hal itu akan ditetapkan dengan putusan pengadilan yang berwenang.
Pembuktian yang demikian pasti tidak lebih efektif dan efisien bila
dibandingkan adanya akta otentik sebagai bukti.
Pasal 43 ayat 1 UU Perkawinan dikabulkan karena hubungan anak dengan
seorang laki-laki sebagai bapak tidak semata-mata karena adanya ikatan
perkawinan, akan tetapi dapat juga didasarkan pada pembuktian adanya hubungan
darah antara anak dengan laki-laki tersebut sebagai bapak. Dengan demikian,
terlepas dari soal prosedur/administrasi perkawinannya, anak yang dilahirkan
harus mendapat perlindungan hukum. Jika tidak demikian, maka yang dirugikan
adalah anak yang dilahirkan di luar perkawinan, padahal anak tersebut tidak
berdosa karena kelahirannya di luar kehendaknya.
Komisi perlindungan anak Indonesia (KPAI) mengungkapkan
hampir 50 juta anak di Indonesia tidak memiliki akta kelahiran karena berbagai
sebab antara lain karena pernikahan tidak sah atau tercatat di atau kawin siri,
angka ini hampir separuh dari total jumlah anak dibawah 5 tahun yang ada di
Indonesia. KPAI sangat mengapresiasi putusan MK beberapa waktu lalu yang
mengabulkan permohonan uji materiil atas pasal anak diluar pernikahan sah dalam
UU perkawinan.
Menurut ketua Komnas perlindungan Anak Aris Merdeka
Sirait, perubahan pada Undang-undang Perkawinan oleh Mahkamah Konstitusi ini
akan menjadi landasan hukum yang sah dalam memajukan upaya advokasi bagi
anak-anak diluar pernikahan yang sah untuk memperoleh hak keperdataannya.
“Jadi putusan MK kemarin memberikan hak keperdataan yang selama ini
tidak diakui negara. Makanya akta lahirnya itu tidak mencantumkan nama ayah.
Dan tentu ini akan berimplikasi tidak mendapatkan “hak waris” dan tidak bisa
mencantumkan siapa bapaknya, nah..itukan merugikan anaknya. Didalam konvensi
PBB juga pengakuan keperdataan dalam bentuk identitas nama dan
kewarganegaraan itu harus diberikan oleh negara, tidak harus bergantung pada
sah tidaknya perkawinan. Tetapi juga sebagai hak konstitusi, hak keperdataan,
itu adalah hak yang sangat mendasar dan konstitusional”.
Ketua Majelis Ulama Indonesia Umar Shihab juga menyambut
baik putusan MK ini, menurut Umar, putusan ini bisa menjadi dasar hukum bagi
hakim dalam memutuskan sengketa anak.
Anak yang dilahirkan tanpa memiliki kejelasan status
ayah seringkali mendapatkan perlakuan yang tidak adil dan stigma di
tengah-tengah masyarakat. Hukum harus memberi perlindungan dan kepastian hukum
yang adil terhadap status seorang anak yang dilahirkan dan hak-hak yang ada
padanya, termasuk terhadap anak yang dilahirkan meskipun keabsahan perkawinannya
masih dipersengketakan.
Berdasarkan uraian ini Pasal 43 ayat 1 UU Perkawinan ini
harus dibaca, “Anak yang dilahirkan di luar perkawinan mempunyai
hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya serta dengan laki-laki
sebagai ayahnya yang dapat dibuktikan berdasarkan ilmu pengetahuan dan
teknologi dan/atau alat bukti lain menurut hukum mempunyai hubungan darah,
termasuk hubungan perdata dengan keluarga ayahnya. “
Bagaimana tindakan notaris apabila ada anak luar kawin/kuasa/walinya
tersebut minta dibuatkan akta keterangan waris sementara ada penyangkalan dari
ahli waris yang sah?
Dari sisi praktisi notaris yang berwenang untuk membuat
suatu keterangan waris, hal ini agak merepotkan, karena untuk membuat suatu
keterangan waris diharuskan untuk menerima bukti-bukti otentik berupa akta
kelahiran yang menyatakan bahwa anak tersebut merupakan anak sah dari hasil
perkawinan kedua orangtuanya. Ada kekhawatiran dalam praktik di masyarakat,
tiba-tiba akan bermunculan berbagai kasus sehubungan dengan adanya tuntutan
dari anak-anak luar kawin yang tidak/belum pernah diakui oleh pewaris, yang
menuntut bagian dari warisan tersebut.
Berdasarkan KUH Perdata dan UU
Perkawinan
|
Putusan MK Nomor 46/PUU-VIII/2010
|
|
Surat Keterangan Hak Waris biasanya dibuat
oleh Notaris yang berisikan keterangan mengenai pewaris, para ahli waris dan
bagian-bagian yang menjadi hak para ahli waris berdasarkan Kitab
Undang-Undang Hukum Perdata.
Anak Luar Kawin dalam BW dan KUH Perdata
bisa mendapat bagian waris melalui proses pengakuan yang ditetapkan oleh
pengadilan. Walaupun dengan adanya perbuatan hukum pengakuan ini sang anak
maksimal mendapat 1/3 bagian waris.
Ketika pewaris meninggal, timbulah warisan
dan ahli waris. Keberadaan anak luar kawin yang sudah ditetapkan pengadilan
tetap akan mendapatkan bagian waris. Apabila ahli waris lain menolak, nama
sang ahli waris ( anak luar kawin yang mendapatkan pengakuan ) sudah tercatat
dan harus dimasukkan dalam surat keterangan waris.
Notaris akan mengecek terlebih dahulu
berapa jumlah ahli waris yang tercatat oleh Negara. Dengan demikian jika ahli
waris di luar anak luar kawin yang mendapat pengakuan menyangkal, surat
keterangan waris tidak dapat dibuat.
|
Anak luar kawin berdasarkan putusan MK ini
dapat membuktikan dengan ilmu pengetahuan jika anak memiliki hubungan darah
dengan ayahnya.
Jika ia terbukti berdasarkan ilmu
pengetahuan merupakan anak pewaris maka anak tersebut mempunyai hak waris
yang sama besarnya dengan ahli waris lainnya.
Peraturan pelaksana putusan MK ini belum
ada sehingga masih terdapat kekosongan hukum bagaimana anak luar kawin
mendapat jaminan ia akan mendapatkan warisannya.
Kemajuan yang dibuat putusan MK ini
setelah dilakukannya pembuktian melalui ilmu pengetahuan ahli waris lain
tidak dapat menyangkal keberadaan anak luar kawin ini. Karena secara ilmu
pengetahuan anak luar kawin ini adalah anak dari pewaris.
Surat keterangan waris dapat dibuat namun
dapat terjadi permasalahan dalam administrasi pengurusan surat keterangan
waris.
|
III. PEMBAHASAN
A. Anak Luar Kawin Menurut Kitab Undang-Undang Hukum Perdata
(KUHPerdata) dan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan
Anak luar kawin yang diakui secara sah adalah salah satu
ahli waris menurut undang-undang yang diatur dalam KUHPerdata berdasarkan Pasal
280 jo Pasal 863 KUHPerdata. Anak luar kawin yang berhak mewaris tersebut
merupakan anak luar kawin dalam arti Sempit, mengingat doktrin mengelompokkan
anak tidak sah dalam 3 (tiga) kelompok, yaitu anak luar kawin, anak zina, dan
anak sumbang, sesuai dengan penyebutan yang diberikan oleh pembuat
undang-undang dalam Pasal 272 jo 283 KUHPerdata (tentang anak zina dan
sumbang). Anak luar kawin yang berhak mewaris adalah sesuai dengan
pengaturannya dalam Pasal 280 KUHPerdata.
Pembagian seperti tersebut dilakukan, karena undang-undang
sendiri, berdasarkan ketentuan-ketentuan yang ada, memang memberikan akibat
hukum lain-lain (sendiri-sendiri) atas status anak-anak seperti tersebut di
atas. Sekalipun anak zina dan anak sumbang sebenarnya juga merupakan anak luar
kawin dalam arti bukan anak sah, tetapi kalau dibandingkan dengan Pasal 280
dengan Pasal 283 KUHPerdata, dapat diketahui anak luar kawin menurut Pasal 280
dengan anak zina dan anak sumbang yang dimaksud dalam Pasal 283 adalah berbeda.
Demikian pula berdasarkan ketentuan Pasal 283,
dihubungkan dengan Pasal 273 KUHPerdata, bahwa anak zina berbeda dengan anak
sumbang dalam akibat hukumnya. Terhadap anak sumbang, undang-undang dalarn
keadaan tertentu memberikan perkecualian, dalam arti, kepada mereka yang dengan
dispensasi diberikan kesempatan untuk saling menikahi (Pasal 30 ayat (2)
KUHPerdata) dapat mengakui dan mengesahkan anak sumbang mereka menjadi anak sah
(Pasal 273 KUHPerdata). Perkecualian seperti ini tidak diberikan untuk anak
zina.
Perbedaan antara anak luar kawin dan anak zina terletak
pada saat pembuahan atau hubungan badan yang menimbulkan kehamilan, yaitu
apakah pada saat itu salah satu atau kedua-duanya (maksudnya laki-laki dan
perempuan yang mengadakan hubungan badan di luar nikah) ada dalam ikatan
perkawinan dengan orang lain atau tidak, sedangkan mengenai kapan anak itu
lahir tidak relevan. Anak zina adalah anak-anak yang dilahirkan dari hubungan
luar nikah antara seorang laki-laki dan seorang perempuan di mana salah satu
atau kedua-duanya, terikat perkawinan dengan orang lain. Adapun anak sumbang
adalah anak-anak yang dilahirkan dari hubungan antara seorang laki-laki dan
seorang perempuan, yang antara keduanya berdasarkan ketentuan undang-undang ada
larangan untuk saling menikahi (Pasal 31 KUHPerdata).
Dengan demikian anak luar kawin dalam arti sempit adalah anak yang
dilahirkan dari hasil hubungan antara seorang laki-laki dan seorang perempuan,
yang kedua-duanya tidak terikat perkawinan dengan orang lain dan tidak ada
larangan untuk saling menikahi, anak-anak yang demikianlah yang bisa diakui
secara sah oleh ayahnya (Pasal 280 KUHPerdata).
Hubungan antara ibu dan anak terjadi dengan sendirinya
karena kelahiran, kecuali apabila anak itu "overspelig atau bloedsrhenning
(anak zinah). Antara ayah dan anak hanya terjadi hubungan perdata karena
pengakuan (Pasal 280 KUHPerdata).
Pasal 280 KUHPerdata, yang mengatakan; bahwa dengan
pengakuan yang dilakukan terhadap seorang anak luar kawin, timbullah hubungan
perdata antara anak dan bapak atau ibunya. Hal ini berarti, bahwa antara anak
luar kawin dan "ayah" (biologisnya) maupun "ibunya" pada
asasnya tidak ada hubungan hukum. hubungan hukum itu baru ada kalau
"ayah" dan atau "ibunya"memberikan pengakuan, bahwa anak
itu adalah anaknya. Dengan demikian, tanpa pengakuan dari ayah dan atau ibunya,
pada asasnya anak itu bukan anak siapa-siapa. Ia tidak mempunyai hubungan hukum
dengan siapa pun.
Kalau kita melihat prinsip seperti tersebut di atas,
kita bisa menyimpulkan, bahwa hubungan hukum antara orang-tua dan anaknya yang
sah didasarkan atas adanya hubungan darah antara keduanya. akan tetapi, kalau
kita hubungkan dengan anak luar kawin, hubungan hukum antara anak luar kawin
dan ayah yang mengakuinya, didasarkan atas hubungan darah melalui suatu
pengakuan dengan demikian, hubungan darah dalam hal ini adalah hubungan darah
dalam arti yuridis, bukan dalam arti biologis. Kedudukan anak luar kawin di
dalam hukum secara realitas adalah lebih rendah dibanding dengan anak sah,
dengan pengertian bagian waris yang diterima oleh anak luar kawin lebih kecil
dibandingkan dengan anak sah. Selain hal tersebut, anak sah berada di bawah
kekuasaan orang tua sebagaimana diatur dalam Pasal 299 KUHPerdata, sedangkan
anak luar kawin yang telah diakui secara sah berada di bawah perwalian
sebagaimana diatur dalam Pasal 306 KUHPerdata.
Untuk dapat menjadi seorang ahli waris KUHPerdata telah menetapkan
syarat-syarat sebagai berikut :
1.
Berdasarkan Pasal 832
KUHPerdata untuk dapat menjadi ahli waris harus memiliki hubungan darah baik
sah atau luar kawin. Dimungkinkan menjadi ahli waris melalui pemberian
melalui surat wasiat sebagaimana diatur dalam Pasal 874 KUHPerdata.
2.
Berdasarkan Pasal 836
KUHPerdata Ahli waris, harus sudah ada pada saat pewaris meninggal dunia.
Namun, ketentuan ini disimpangi oleh Pasal 2 KUHPerdata yang menyebutkan bahwa
anak yang ada dalam kandungan seorang perempuan dianggap sebagai telah
dilahirkan, bilamana kepentingan si anak menghendakinya.
Ketentuan Pasal 832 KUHPerdata memperjelas kedudukan
masing-masing ahli waris harus didasari oleh suatu hubungan darah baik sah
maupun luar kawin. Dalam hal ini, perlu diidentifikasi lebih lanjut tentang
kedudukan anak-anak pewaris sebagai ahli waris. Mengingat dalam suatu pewarisan
menurut KUHPerdata dikenal anak luar kawin baik yang diakui secara sah maupun
tidak. KUHPerdata tidak menjelaskan lebih lanjut pengertian yang jelas tentang
anak luar kawin. KUHPerdata hanya memberikan penjelasan tentang pengertian anak
sah sebagaimana diatur dalam Pasal 250 KUHPerdata yang menyebutkan bahwa anak
sah adalah setiap anak yang dilahirkan dan atau dibuahkan dari suatu perkawinan
yang sah. Berdasarkan batasan yang diberikan oleh Pasal 250 KUHPerdata dapat
ditarik kesimpulan bahwa yang disebut dengan anak luar kawin adalah setiap anak
yang dilahirkan di luar perkawinan yang sah.
UU No. 1 Tahun 1974 mengatur kedudukan anak luar kawin dalam Pasal
43, yaitu:
1.
Anak yang dilahirkan di luar
perkawinan hanya mempunyai hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya;
2.
Kedudukan anak tersebut ayat
(1) di atas selanjutnya akan diatur dalam Peraturan Pemerintah.
Kompilasi Hukum Islam Pasal 4 menyebutkan Perkawinan
adalah sah apabila dilakukan menurut hukum Islam sesuai dengan pasal 2 ayat (1)
Undang-undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan yang menyebutkan “Perkawinan
adalah sah apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agama dan
kepercayaannya itu.”
Namun, perkawinan tersebut harus dilaporkan dan dicatat
di Kantor Urusan Agama (KUA) atau di Catatan Sipil bagi yang bukan beragama
Islam, karena Pencatatan perkawinan seperti yang diamanatkan Pasal 2 ayat (2)
UU No 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan bertujuan untuk melindungi warga negara
dalam membangun keluarga dan memberikan kepastian hukum terhadap hak suami,
istri, dan anak-anaknya.
UU No. 1 tahun 1974 pasal 2 ayat 2 menyebutkan
“Tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang
berlaku”. Begitu pula di dalam Pasal 5 Kompilasi Hukum Islam menyebutkan:
1.
Agar terjamin ketertiban
perkawinan bagi masyarakat Islam setiap perkawinan harus dicatat.
2.
Pencatatan perkawinan tersebut
pada ayat (1), dilakukan oleh Pegawai Pencatat Nikah sebagaimana yang diatur
dalam Undang-undang No.22 Tahun 1946 jo Undang-undang No. 32 Tahun 1954.
Walaupun pernikahan siri dianggap sah secara agama
Islam, yaitu adanya ijab dan Kabul serta wali nikah dan pengantin sudah cukup
umur, perkawinan tersebut juga harus sah secara hukum Negara. Tanpa adanya
pencatatan secara hukum Negara, maka anak-anak yang lahir dari perkawinan
tersebut tidak dapat dibuktikan secara hukum merupakan anak sah dari ayahnya.
Akibatnya, si anak hanya memiliki hubungan hukum dengan ibu yang melahirkannya.
Dari lima rukun nikah itu, tak ada seorang ulama (empat
mazhab) yang mengemukakan sebuah pernikahan harus dicatat. Sebab, tak ada
ditemukan dalil dalam Al-Qur’an dan Hadits Sahih yang secara eksplisit
mewajibkan adanya pencatatan nikah. Jadi jika pernikahannya sah sekalipun tidak
tercatat, anaknya tetap dianggap anak sah.
Sebuah Hadits Sahih yang diriwayatkan Imam Al-Bukhari
dan Muslim dari Abu Hurairah ra, Rasulullah bersabda, “Anak hanya bernasab
kepada pemilik tempat tidur suami, sedangkan pezina hanya akan memperoleh sial
atau batu hukuman.” Dari hadits itu, dapat dijelaskan anak juga bernasab
(hubungan hukum) dengan lelaki yang memiliki tempat tidur yang sah. Sebab, ia
adalah suami sah dari ibu kandungnya. Sementara, perzinaan tidak pernah
mengakibatkan adanya hubungan nasab anak terhadap bapaknya karena pezina hanya
layak diberi hukuman. Jika pernikahan sah, anak yang dilahirkan bernasab pada
ibu dan bapaknya, kecuali karena perzinahan anak hanya bernasab dengan ibunya.
Pasal 42 Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan
memberikan definisi bagi anak yang sah yaitu anak yang dilahirkan dalam atau
sebagai akibat perkawinan yang sah.
Sedangkan Pasal 250 KUHPerdata menentukan bahwa
tiap-tiap anak yang dilahirkan atau ditumbuhkan sepanjang perkawinan,
memperoleh si suami sebagai bapaknya. Berdasarkan kedua ketentuan di atas,
keabsahan suatu perkawinan sangat menentukan kedudukan hukum dari anak-anak, anak
yang dilahirkan atau ditumbuhkan sepanjang perkawinan, memperoleh si suami
sebagai bapaknya. Berdasarkan kedua ketentuan di atas, keabsahan suatu
perkawinan sangat menentukan kedudukan hukum dari anak-anak.
B. Kedudukan Anak Luar Kawin
Berdasarkan Pasal 280 KUHPerdata, seorang anak luar
kawin akan memiliki hubungan keperdataan dengan orang tuanya apabila telah
diakui secara sah. Dengan demikian, apabila seorang anak luar kawin tidak
diakui oleh orang tuanya, maka ia tidak akan memiliki hubungan keperdataan baik
dengan bapak maupun ibu biologisnya.
Namun, menurut Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang
Perkawinan kedudukan anak luar kawin demi hukum memiliki hubungan keperdataan
dengan ibunya dan keluarga ibunya, sebagaimana diatur dalam Pasal 43 ayat (1)
Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. Hanya saja, dalam ayat (2)
disebutkan bahwa Kedudukan anak luar kawin tersebut akan diatur lebih lanjut
dalam suatu peraturan pemerintah yang sampai sekarang belum diundangkan oleh
pemerintah.Dengan demikian, berdasarkan Pasal 66 Undang-Undang No. 1 Tahun 1974
tentang Perkawinan, maka berlakulah ketentuan yang lama dalam hal ini
KUHPerdata.
Sehingga kedudukan anak luar kawin secara hukum setelah
berlakunya Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan tetap diperlukan
suatu pengakuan untuk menciptakan hubungan keperdataan antara seorang anak luar
kawin dengan orang tuanya.
Pengakuan terhadap anak luar kawin, dapat dilakukan
dengan :
1.
Pengakuan sukarela
Pengakuan sukarela yaitu : suatu pengakuan yang dilakukan
oleh seseorang dengan cara yang ditentukan undang-undang, bahwa ia adalah
bapaknya (ibunya) seorang anak yang telah dilahirkan di luar perkawinan).
Dengan adanya pengakuan, maka timbulah hubungan Perdata antara si anak dan si
bapak (ibu) yang telah mengakuinya sebagaimana diatur dalam Pasal 280
KUHPerdata.
Pengakuan sukarela dapat dilakukan dengan cara-cara yang ditentukan
dalam Pasal 281 KUHPerdata, yaitu :
1.
Dalam akta kelahiran si anak
Menurut Pasal 281 ayat (1) KUHPerdata, untuk dapat mengakui seorang anak luar
kawin bapak atau ibunya dan atau kuasanya berdasarkan kuasa otentik harus
menghadap di hadapan pegawai catatan sipil untuk melakukan pengakuan terhadap
anak luar kawin tersebut.
2.
Pengakuan terhadap anak luar
kawin dapat pula dilakukan pada saat perkawinan orang tuanya berlangsung yang
dimuat dalam akta perkawinan sebagaimana diatur dalam Pasal 281 ayat (2). Jo
Pasal 272 KUHPerdata. Pengakuan ini akan berakibat si anak luar kawin akan
menjadi seorang anak sah.
3.
Pengakuan terhadap anak luar
kawin dapat dilakukan dalam akta oteintik seperti akta notaris sebagaimana
diatur dalam Pasal 281 ayat (1) KUHPerdata.
4.
Dengan akta yang dibuat oleh
pegawai catatan sipil, yang dibutuhkan dalam register kelahiran catatan sipil
menurut hari Penanggalannya sebagaimana diatur dalam Pasal 281 ayat (2)
KUHPerdata.
1.
Pengakuan Paksaan
Pengakuan anak luar kawin dapat pula terjadi secara
paksaan, yakni dapat dilakukan oleh si anak yang lahir di luar perkawinan itu,
dengan cara mengajukan gugatan terhadap bapak atau ibunya kepada Pengadilan
Negeri, agar supaya anak luar kawin dalam arti sempit itu diakui sebagai anak
bapak atau ibunya, ketentuan ini diatur dalam Pasal 287-289 KUHPerdata.
Anak luar kawin yang dapat diakui adalah anak luar kawin
dalam arti sempit, yaitu anak yang terlahir dari ibu dan bapak yang tidak
terikat perkawinan yang sah baik di antara mereka maupun dengan orang lain
(tidak tergolong anak zina atau anak sumbang).
Menurut KUHPerdata ahli waris yang berhak mewaris dapat dibagi
menjadi 4 (empat) golongan, yaitu :
1.
Golongan I : Anak, atau
keturunannya dan janda/duda, yang jumlah bagiannya ditetapkan di dalam Pasal
852, 852a, 852b, dan 515 KUHPerdata.
2.
Golongan II : Orang tua
(bapak/ibu), saudara-saudara atau keturunannya, yang jumlah bagiannya ditetapkan
di dalam pasal 854, 855, 856, dan 857 KUHPerdata.
3.
Golongan III : Kakek dan nenek,
atau leluhur dalam garis lurus terus ke atas, yang jumlah bagiannya ditetapkan
di dalam Pasal 853, 858 ayat (1) KUHPerdata.
4.
Golongan IV : Sanak keluarga di
dalam garis menyamping sampai tingkat ke-6 yang jumlah bagiannya ditetapkan di
dalam Pasal 858 ayat (2), 861, 832 ayat (2), 862, 863, 864, 856 dan 866
KUHPerdata.
C. Peran Notaris dalam Pembuatan Akta Warisan untuk
Anak Luar Kawin
Perjanjian-perjanjian yang dapat digunakan dan dibuat
untuk menyelesaikan sengketa waris apabila terdapat anak luar kawin adalah
dengan membuat:
1.
Akta Pembatalan, merupakan akta
yang memuat kesepakatan para ahli waris untuk membatalkan Akta Pembagian Waris
yang telah pernah dibuat sebelumnya dan untuk kemudian dibuat Akta Pembagian
Waris yang baru, dalam akta ini anak luar kawin yang dahulu belum masuk sebagai
ahli waris, dicantumkan sebagai ahli waris dengan bagian sesuai yang telah
ditentukan oleh undang-undang;
2.
Akta Perdamaian, akta ini merupakan
kesepakatan ahli waris untuk menyelesaikan sengketa waris dengan cara
bermufakatan, dan membagi waris menurut undang-undang.
3.
Akta Perjanjian Pelepasan Hak
Tuntutan, pembuatan akta ini merupakan solusi dari sengketa hak waris dalam
pewarisan yang di dalamnya terdapat anak luar kawin yang dahulu pada saat
pembuatan Akta Pembagian Waris tidak masuk sebagai ahli waris dan tidak
memperoleh haknya. Akta Perjanjian Pelepasan Hak Tuntutan, dibuat tanpa
membatalkan Akta Pembagian Waris yang telah dibuat, melainkan dalam akta ini
anak luar kawin tersebut membuat pernyataan bahwa ia telah melepaskan segala
haknya atas harta warisan dan tidak akan menuntut ahli waris lainnya atas harta
warisan. Dalam akta ini juga diperjanjikan untuk itu si anak luar kawin mendapatkan
kompensasi dari ahli waris yang lain sesuai dengan kesepakatan di antara para
ahli waris.
IV. Penutup.
Dengan adanya putusan Mahkamah Konstitusi tersebut di
atas, maka diakuinya anak luar kawin (hasil biologis) sebagai anak yang sah
berarti akan mempunyai hubungan waris dengan bapak biologisnya tanpa harus
didahului dengan pengakuan dan pengesahan, dengan syarat dapat dibuktikan
adanya hubungan biologis antara anak dan bapak biologis berdasarkan ilmu
pengetahuan, misalnya melalui hasil tes DNA. Namun demikian, apabila ada
penyangkalan mengenai anak luar kawin ini dari anak-anak ahli waris yang sah,
menurut saya, maka dalam hal ini tetap perlu dimohonkan Penetapan Pengadilan
mengenai status anak luar kawin tersebut sebagai ahli waris yang sah.
Mengharapkan pemerintah dengan putusan MK tersebut
membuat sinkronisasi hukum dan peraturan perundang undangan yang berkaitan
dengan perkawinan menurut agama dan kepercayaannya sehingga tidak
menimbulkan pendapat/opini yang tumpang tindih yang menimbulkan banyak masalah
baru dan diharapkan penegakkan hukum serta rasa keadilan di masyarakat dapat
terwujud.
* Notaris-PPAT-Pejabat Lelang DKI Jakarta, Majelis Pengawas Notaris
Daerah Jakarta,Dosen Magister Kenotariatan & Pasca Sarjana Hukum, Dosen
Diklat Perbankan/BUMN, Tenaga Profesional Bidang Hukum dan HAM Lemhannas RI
Selasa, 17 April 2012
prinsip-prinsip hukum waris
BAB
I
PENDAHULUAN
1.LATAR BELAKANG
Dasar Hukum waris
positif yang berlaku di indonesia Adalah hukum adat, hukum Islam dan hukum
warisan Belanda atau civil law yang banyak termuat dalam KUHPerdata.
Hukum adat merupakan norma-norma yang tumbuh dan berkembang secara alamiah di
dalam pergaulan hidup masyarakat Indonesia. Hukum tersebut merupakan refleksi
dari sistem budaya yang dimiliki oleh masyarakat setempat. Sedangkan hukum Islam adalah hukum yang bersumber dari dan
menjadi bagian dari agama Islam. Konsepsi Hukum
Islam yaitu dasar dan kerangka hukumnya ditetapkan oleh Allah, tidak hanya
mengatur hubungan manusia dengan manusia lain dan benda dalam masyarakat, tetapi
juga hubungan-hubungan lainnya karena manusia yang hidup di dalam masyarakat
itu mempunyai berbagai hubungan. Sistem hukum lainnya adalah sistem hukum Barat
yang terdapat pada KUHPerdata atau Burgerlijk Wetboek (BW). Indonesia
sebagai bekas jajahan Belanda pernah memberlakukan KUHPerdata sebagai sumber
hukum atas dasar asas concordance, di mana Negara jajahan harus
menerapkan hukum sesuai dengan apa yang diterapkan di negaranya (Belanda).
Pandangan hukum
adat terhadap hukum kewarisan sangat ditentukan oleh persekutuan hukum adat itu
sendiri. Beberapa persekutuan itu diantaranya pertama persekutuan genealogis,
berdasarkan keturunan dan persekutuan territorial berdasarkan kependudukan
yakni persekutuan hukum yang dipengaruhi baik faktor geneologis maupun faktor
teritorial. Dalam persekutuan yang geneologis, anggota-anggotanya merasa diri
terikat satu sama lain, karena mereka berketurunan dari nenek moyang yang sama,
sehingga diantara mereka terdapat hubungan keluarga. Sementara persatuan hukum
territorial anggota-anggotanya merasa terikat satu sama lain,karena mereka
bertempat kedudukan di suatu daerah yang sama. Persekutuan semacam ini disebut
desa atau gampong di Aceh dan sebagian daerah melayu Sumatera. Sedangkan yang
terkhir persekutuan hukum yang dipengaruhi territorial dan geneologis terdapat
di beberapa daerah seperti Mentawai yang disebut Uma, di Nisas disebut Euri di
Mingkabau disebut dengana Nagari dan di Batak disebut Kuria atau Huta.
Dalam persekutuan
geneologis ini terbagi pula menjadi tiga tipe tata susunan yaitu patrilineal
(kebapaan), matrilineal (keibuan) dan parental (bapak-ibu). Menurut sistem
patrilineal ini keturunan diambil dari garis bapak, yang merupakan pancaran
dari bapak asal dan menjadi penentu dalam keturunan anak cucu. Dalam hal ini
perempuan tidak menjadi saluran darah yang menghubungkan keluarga. Wanita yang
kawin dengan laki-laki ikut dengan suaminya dan anaknya menjadi keluarga
ayahnya. Sistem pertalian seperti ini terjadi di Nias, Gayo, Batak dan sebagian
di Lampung, Bengkulu, Maluku dan Timor. Dalam hukum waris, persekutuan ini
lebih mementingkan keturunan anak laki-laki daripada anak perempuan.
Sementara
matrilineal adalah keturunan yang berasal dari Ibu, sehingga yang menjadi
ukuran hanyalah pertalian darah dari garis ibu yang menjadi ukuran dan
merupakan suatu persekutuan hukum. Wanita yang kawin tetap tinggal dan termasuk
dalam gabungan keluarga sendiri, sedangkan anak-anak mereka masuk dalam
keturunan ibunya. Sistem matrilineal ini terdapat di Minangkabau, Kerinci, Semendo
dan beberapa daerah Indonesia Timur. Sesuai dengan persekutuannya, matrilineal
lebih menghargai ahli waris dari pihak perempuan daripada ahli waris dari pihak
laki-laki. Selama masih ada anak perempuan, anak laki-laki tidak mendapatkan
tirkah.
Sedangkan yang
terakhir, pertalian darah dilihat dari kedua sisi, bapak dan ibu serta nenek
moyang. Kedua keturunan sama-sama penting bagi persekutan ini. Keturunan
berdasarkan bapak-ibu ini menurut Nani Soewondo merupakan garis keturunan yang
paling tua umurnya dan paling umum di Indonesia. Salah satu daerah yang
menganut sistem ini adalah Jawa. Menurut Hazairin dalam masyarakat bila
diperhatikan setiap orang berhak mengambil garis keturunannya ke atas maupun
ibu atau ayahnya. Dengan demikian, bagi orang Jawa keturunan bukan saja melalui
anaknya yang laki-laki atau perempuan saja, tetapi juga sampai keturunan yang
lahir dari cucunya laki-laki maupun perempuan sehingga dapat dipahami bahwa
saluran-saluran daerah dalam masyarakat Jawa biasa menjadi penghubung keturunannya
dan Menghasilkan keluarga bagi dirinya. Dengan sitem persekutuan ini, maka
hukum waris pun tidak hanya menganggap kepada satu jenis kelamin anak saja
tetapi baik anak perempuan maupun anak laki mempunyai hak atas harta warisan.
Dalam hukum waris Islam,
penempatan seseorang menjadi ahli waris didasarkan pada adanya perkawinan,
hubungan darah dan memerdekakan hamba (saat ini sudah tidak banyak dibahas lagi
kecuali dalam fiqh konvensional). Adanya perkawinan akan menimbulkan hak waris
antara suami dan istri, sedangkan hubungan darah akan menyebabkan hak
mendapatkan waris bagi kedua orang tua dan anak-anak. Jika ahli waris ada maka
yang menjadi ahli waris hanyalah suami atau istri, anak, ibu dan bapak.
Perbedaan yang menonjol dari hukum waris lainnya, dalam hukum Islam bagian anak
perempuan mendapatkan setengah dari anak laki-laki. Titik singgung antara hukum
Islam dengan hukum adat terletak pada pandangan adanya “keistimewaan” antara
anak laki-laki dan perempuan. Dalam hukum adat dengan sistem matrilineal, lebih
mengedepankan anak perempuan, sementara hukum waris dalam madzhab sunny (madzhab
Hanafi,Maliki, Syafi'i, dan Hambali) cenderung bersifat patrilineal. Sementara
itu Hazairin yang berusaha menggagas fikih dengan corak keIndonesiaan berusaha
membangun hukum waris dengan corak bilateral.
Perbedaan yang cukup tajam antara hukum waris
Islam dan KUHPerdata anak laki-laki berbanding sama dengan anak perempuan.
Adapun tertib keluarga yang menjadi ahli waris dalam KUHPerdata, yaitu: Isteri
atau suami yang ditinggalkan dan keluarga sah atau tidak sah dari pewaris. Ahli
waris menurut undang undang atau ahli waris ab intestato berdasarkan
hubungan darah terdapat empat golongan, yaitu:
a. Golongan pertama, keluarga dalam garis
lurus ke bawah, meliputi anak-anak beserta keturunan mereka beserta suami atau
isteri yang ditinggalkan / atau yang hidup paling lama. Suami atau isteri yang
ditinggalkan / hidup paling lama ini baru diakui sebagai ahli waris pada tahun
1935, sedangkan sebelumnya suami / isteri tidak saling mewarisi;
b. Golongan kedua, keluarga dalam garis lurus
ke atas, meliputi orang tua dan saudara, baik laki-laki maupun perempuan, serta
keturunan mereka. Bagi orang tua ada peraturan khusus yang menjamin bahwa
bagian mereka tidak akan kurang dari ¼ (seperempat) bagian dari harta
peninggalan, walaupun mereka mewaris bersama-sama saudara pewaris;
c.
Golongan ketiga, meliputi kakek, nenek, dan leluhur selanjutnya ke atas dari
pewaris;
d.
Golongan keempat, meliputi anggota keluarga dalam garis ke samping dan sanak
keluarga lainnya sampai derajat keenam.
Dari ketiga sistem
pewarisan dari hukum positip diatas terdapat perbedaan prinsip yang sangat
mendasar dari ketiga sistem hukum diatas.
2.RUMUSAN MASALAH
Berdasarkan latar
belakang diatas kami menemukan beberapa rumusan masalah sebagai bahan analisa
kami sebagai berikut:
1.apakah
prinsip-prinsip yang terkandung dalam hukum waris positif di indonesia?
2.bagaimanakah
perbandingan ketiga hukum waris positif tersebut?
BAB II
PEMBAHASAN
1.
Prinsip
– prinsip hukum waris positif yang ada di Indonesia
Secara
umum, pengertian hukum waris yang didasarkan pada pasal 830 Kitab Undang-
Undang
hukum perdata dan dapat disimpulkan bahwa Hukum waris adalah suatu rangkaian
ketentuan-ketentuan, dimana, berhubung dengan meninggalnya seseorang,
akhibat-akhibatnya di dalam bidang kebendaan, diatur, yaitu: akhibat dari
beralihnya harta peninggalan dari seorang yang meninggal, kepada ahli waris
baik di dalam hubungannya
Antara
mereka sendiri maupun dengan pihak ke tiga. Terdapat 3 sistem hukum waris
positif yang terdapat di Indonesia yaitu :
a)
Hukum
waris adat
Hukum
waris adat adalah hukum adat yang memuat garis-garis ketentuan tentang sistem
dan azas hukum waris, tentang harta warisan, pewaris dan waris serta cara
bagaimana harta warisan itu dialihkan penguasaan dan pemilikannya dari pewaris
kepada waris. Hukum waris adat sebenarnya adalah hukum penerusan harta kekayaan
dari suatu generasi
Kepada
keturunannya.
Adapun pendapat para ahli hukum adat tentang hukum waris adat adalah sebagai
berikut:
1.
Ter
Haar menyatakan: Hukum waris adat adalah aturan-aturan hukum yang mengenai cara
bagaimana dari abad ke abad penerusan dan peralihan dari harta kekayaan yang berwujud
dan tidak berwujud dari generasi ke
generasi”
2. Menurut Wirjono, pengertian warisan
ialah bahwa warisan itu adalah soal apakah dan bagaimanakah berbagai hak-hak
dan kewajiban-kewajiban tentang kekayaan seseorang pada waktu ia meninggal
dunia akan beralih kepada orang lain yang masih hidup.
Jadi menurut wirjono, istilah kewarisan diartikan sebagai cara penyelesaian bukan diartikan bendanya. Kemudian cara penyelesaian itu sebagai akhibat dari kematian seseorang. Sehingga waris dapat dilakukan setelah ada orang (pewaris) yang meninggal.
Jadi menurut wirjono, istilah kewarisan diartikan sebagai cara penyelesaian bukan diartikan bendanya. Kemudian cara penyelesaian itu sebagai akhibat dari kematian seseorang. Sehingga waris dapat dilakukan setelah ada orang (pewaris) yang meninggal.
3.
Soepomo yang menyatakan: “Hukum adat waris
memuat peraturan-peraturan yang mengatur proses meneruskan serta mengoperkan
barang-barang harta benda dan barang-barang yang tidak berwujud benda
(immateriele goederen) dari suatu angkatan manusia (generatie) kepada
turunannya. Proses ini telah mulai dalam waktu orang tua masih hidup. Proses
tersebut tidak menjadi akuut oleh sebab orang tua meninggal dunia. Memang
meninggalnya bapak atau ibu adalah suatu peristiwa yang penting bagi proses
itu, akan tetapi sesungguhnya tidak mempengaruhi secara radikal proses
penerusan dan pengoperan harta benda dan harta bukan benda tersebut”
Dengan
demikian hukum waris itu memuat ketentuan-ketentuan yang mengatur cara
penerusan dan peralihan harta kekayaan dari pewaris kepada para warisnya. Cara
penerusan dan peralihan harta tersebut dapat berlaku sejak pewaris masih hidup
atau setelah pewaris maninggal dunia. Bentuk peralihannya dapat dengan cara
penunjukan, penyerahan kekuasaan atau penyerahan pemilikan atas bendanya oleh
pewaris kepada waris.
Prinsip
hukum waris adat menurut Djojodigoeno adalah air mengalir ke bawah, atau
menggunakan teori keran air. Teori ini menyebutkan kalau setiap ada kematian
maka terbukalah warisan. Air selalu mengalir dari tempat yang tinggi menuju
tempat yang rendah, sama dengan warisan menurut hukum adat warisan jatuh dari
suatu generasi ke generasi berikutnnya berarti ada perbedaan waktu antara satu
generasi dengan generasi lainnya , dari generasi yang lebih tua ke generasi
yang muda. Air tidak akan naik lagi walaupun keran sudah tertutup atau tidak
ada ahli warisnnya, air akan mencari keran yaang lain atau mencari ahli waris
lainnya yang lebih berhak. Apabila terjadi kasus dimana sang anak meninggal
terlebih dahulu dari pada orang tuannya maka warisan tersebut jatuh ke tangan
anak si ahliwaris tersebut dengan bagian sebesar yang harusnnya
di terima orang tuannya yang meninggal
tersebut.
Sistem keturunan dilihat dari segi garis keturunan maka perbedaan
lingkungan hukum adat itu dapatdi bagi menjadi
3 kelompok yaitu :
a. Sistem
patrilinial (kelompok garis kebapakan )
Sistem keturunan yang ditarik menurut
garis bapak, dimana kedudukan pria lebih menonjol pengaruhnya dari kedudukan
wanita di dalam pewarisan. Suku-suku yang bergaris keturunan kebapakan antara
lain adalah Gayo, Alas, Batak, Nias, Lampung, Buru, Seram, Nusa
Tenggara dan irian.
b.
Sistem
matrilineal (kelompok garis keibuan)
Sistem keturunan yang ditarik menurut
garis ibu, dimana kedudukan wanita lebih menonjol pengaruhnya dari kedudukan
pria di dalam pewarisan. Suku-suku yang bergaris keturunan ini
adalah minangkabau, enggano.
c.
Sistem Parental atau bilateral (kelompok garis
ibu – bapak )
Sistem yang ditarik menurut garis orang
tua, atau menurut garis dua sisi (bapak-ibu), dimana kedudukan pria dan wanita
tidak dibedakan di dalam pewarisan. Adapun suku yang bergaris
Keturunan ini adalah Jawa, Sunda,
Madura, dan Melayu, sistem pewarisan individual
Sistem pewarisan dimana setiap waris mendapatkan pembagian untuk dapat menguasai dan atau memiliki harta warisan menurut bagiannya masing-masing. Setelah harta warisan itu diadakan pembagian maka masing-masing waris dapat menguasai dan memiliki bagian harta
Sistem pewarisan dimana setiap waris mendapatkan pembagian untuk dapat menguasai dan atau memiliki harta warisan menurut bagiannya masing-masing. Setelah harta warisan itu diadakan pembagian maka masing-masing waris dapat menguasai dan memiliki bagian harta
Warisannya untuk diusahakan dan di
nikmati.
Sistem pewarisan kolektif Pengalihan
kepemilikan harta peninggalan dari pewaris kepada waris sebagai kesatuan yang
tidak terbagi-bagi penguasaan dan pemilikannya, melainkan setiap waris berhak
untuk mengusahakan menggunakan atau mendapat hasil dari harta peninggalan itu.
Sedangkan cara pemakaiannya diatur bersama atas dasar musyawarah dan mufakat
oleh semua anggota kerabat yang berhak atas harta peninggalan dibawah bimbingan
Kepala kerabat.
b) Hukum
Waris Barat atau Hukum Waris Perdata
Di dalam
sistem Hukum Perdata Barat, Hukum Waris di muat dalam Buku II KUH Perdata
mengenai Benda. Hal ini terjadi karena pembuat undang undang telah memasukan
hak mewaris sebagai hak kebendaan dan memberlakukan hak ahli waris sebagai
suatu hak kebendaan.
Penempatan
hukum Waris dalam Buku II tersebuat adalah merupakan akibat dari pengaruh Hukum
Romawi dan Hukum Germania pada hukum perdata Perancis (code
Civil),
BW, dan KUH Perdata Indonesia.
Hukum waris
menurut Pitlo adalah kumpulan aturan hukum yang mengatur mengenai kekayaan
karena meninggalnnya seseorang yaitu Perpindahan kekayaan yang di tinggalkan
oleh si meninggal dan akibat dari perpindahan ini bagi orang-orang yang
memperolehnnya, baik dalam hubungan di antara mereka maupun hubungan antara
mereka dengan pihak ke 3.
Prinsip-prinsip
kewarisan menurut sistem hukum barat adalah :
·
Pewarisan terjadi karena
meninggalnya pewaris dengan sejumlah harta;
·
Hak-hak dan kewajiban dibidang harta
kekayaan “beralih” demi hukum. Hal ini berdasarkan Pasal 833 KUHPerdata, yang
menimbulkan hak untuk menuntut (Heriditatis Petitio);
·
Yang berhak mewaris menurut UU
adalah mereka yang memiliki hubungan darah, hal ini berdasarkan Pasal 832
KUHPerdata;
·
Harta tidak boleh dibiarkan tidak
terbagi; dan
·
Setiap orang cakap untuk mewaris
(terkecuali ketentuan pada Pasal 838 KUHPerdata).
c) Prinsip-prinsip Hukum Waris Islam
Hukum Waris menduduki tempat amat penting dalam
Hukum Islam karena setiap orang pasti akan mati maka di butuhkan aturan untuk
mengatur perpindahan harta yang di tinggalkan kepada orang orang yang berhak
atas harta tersebut. Sumber-sumber Hukum Waris Islam adalah :
1. Al-Qur’an ( surat An-Nisa dan surat
Al-Anfal ). Dalam surat An-Nisa menegaskan tentang kuatnnya hubungan kerabat
karena pertalian darah, dan pernyataan tersebut di perkuat lagi oleh surat
Al-Anfal ayat 75 yaitu Hak kerabat karena pertaian darah, sebagian lebih di
utamakan dari sebagian yang lain.
2.
Sunnah
Rasul
Meskipun Al-Quran menyebutkan secara
terperinci ketentuan-ketentuan bagian ahli waris maka Sunnah Rasul menyebutkan
pula hal-hal yang tidak di sebutkan dalam Al-Quaran.
3.
Ijtihad
Beberapa hal masih di perlukan adannya
ijtihad, yaitu terhadap hal-hal yang tidak di tentukan di dalam Al-Quran dan
Sunnah rasul.
Hukum waris islam adalah Hukum yang mengatur
segala sesuatu yang berkenaan dengan peralihan hak dan atau kewajiban atas
harta kekayaan seseorang setelah dia meninggal dunia kepada ahli warisnnya.
Prinsip-prinsip Hukum Waris Islam
a. Prinsip Ijbari, yaitu bahwa peraliban
harta seseorang yang telah meninggal dunia kepada yang masih hidup berlaku
dengan sendirinya.
b. Prinsip Individual, yaitu bahwa harta
warisan dapat dibagi-bagikan kepada ahli waris untuk dimiliki secara
perseorangan.
c. Prinsip Bilateral, artinya bahwa baik
laki-laki maupun perempuan dapat mewaris dari kedua belah pihak garis
kekerabatan, atau dengan kata lain jenis kelamin bukan merupakan penghalang
untuk mewarisi atau diwarisi.
d. Prinsip kewarisan hanya karena
kematian, yakni bahwa peralihan harta seseorang kepada orang lain dengan
sebutan kewarisan berlaku setelah yang mempunyai harta tersebut meninggal
dunia. Dengan demikian, tidak ada pembagian warisan sepanjang pewaris masih
hidup.
Selain prinsip prinsip di atas ada pula beberapa prinsip pewarisan menurut
hukum Islam yaitu:
1.
Hukum waris
Islam menempuh jalan tengah antara pemberi kebebasan penuh kepada orang untuk
memindahkan harta peninggalannya dengan jalan wasiat kepada orang yang
menghendaki dan melarang sama sekali pembagian harta peninggalan yang tidak
mengakui hak milik perorangan, yang dengan sendirinnya tidak mengenal sistem
pewarisan.
2.
Warisan
dalah ketetapan hukum yang mewariskan tidak dapat menghalangi ahli waris dari
haknnya atas warisan, dan ahli waris berhak atas harta warisan tanpa perlu
kepada pernyataan menerima dengan sukarela atau atas keputusan hakim.
3.
Warisan
terbatas dalam lingkungan keluarga, dengan adannya hubungan perkawinan atau
karena hubungan nazab/keturunan yang sah.
4.
Hukum waris
islam lebih cenderung untuk membagikan harta warisan kepada sebanyak mungkin
ahli waris, dengan memberikan bagian-bagian tertentu kepada beberapa ahli
waris.
5.
Hukum waris
islam tidak membedakan hak anak-anak atas harta warisan, hak anak-anak yang
sudah besar, yang masih kecil dan yang baru saja lahur, semuannya berhak atas
harta warisan orang tuannya. Tetapi perbedaan besar kecilnnya kewajiban yang
harus di tunaikan dalam keluarga.
6.
Hukum Waris
Islam membedakan besar kecil bagian-bagian tertentu ahli waris diselaraskan
dengan kebutuhannya dalam hidup sehari-hari, disamping memandang jauh dekat
hubungan dengan mayit (Ahmad Azhar Basyir,1977).
2.
Perbandingan Hukum
Waris Positif yang ada di Indonesia
Seperti
yang penulis telah sampaikan di atas, Hukum Waris Positif yang terdapat di
Indonesia ada 3 yaitu Hukum Waris Adat yang berlaku untuk golongan Pribumi,
Hukum waris Perdata yang berlaku untuk golongan Timur Asing dan Hukum Waris
Islam yang berlaku untuk umat Islam, dan apabila seseorang berdada pada 2 atau
tiga sistem hukum tersebut maka ia dapat melaksanakan Choice of law atau
memilih sistem hukum manakah yang akan ia pakai.
Perbandingan
Hukum waris positif yang ada di Indonesia jika di lihat dari unsur-unsur suatu
pewarisan yaitu Pewaris, Warisan, dan Ahli waris adalah :
1) Pewaris
b. Dalam
hukum waris adat si pewaris tidak harus meninggal untuk membagi harta
warisannya atau ketika meninggal harta warisan tersebut belum tentu bisa di
wariskan karena harta tersebut tidak di bagikan melainkan hannya di operkan ke
generasi berikutnnya.
c. Dalam
hukum waris islam pewarisan baru dapat terjadi jika ada yang meninggal terlebih
dahulu, atau warisan akan terbuka jika seseorang telah meninggal.
d. Dalam
Hukum Waris Perdata untuk adannya pewarisan harus ada yang meninggal terlebih
dahulu karena pewarisan menurut BW yaitu mengenai perpindahan dan akibat hukum
dari kekayaan orang yang sudah meninggal.
2) Warisan
a. Hukum
Waris Adat : Harta warisan dapat berupa Imateriin dan Materiil, Imateriil
adalah harta yang tidak dapat di nilai dengan uang( Jabatandan Title). Harta
warisan yang berdifat Imateriil dapat di cabut haknnya jika ahli waris tersebut
melanggar ketentuan ketentuan adatnnya. Di dalam waris adat di kenal adannya
harta warisan atau harta yang di tinggalkan oleh pewaris yang menjadi Hak para
ahli warisnnya termasuk pemberian- pemberian kepada anaknnya selama ia masih
hidup , dan Harta Peninggalan harta yang secara nyata di tinggalkan si pewaris
pada saat ia meninggal.
b. Hukum
Waris Islam : Hannya harta yang bersifat Materiil sajalah yang dapat di
wariskan atau hannya yang dapat di nilai dengan uang yang dapat di wariskan,
dan harta warisan tersebut harus diuangkan dan secepatnnya di bagi agar tidak
tejadi peristiwa saling memakan harta anak yatim.
c. Hukum
Waris Perdata: Hal-Hal yang dapat di wariskan adalah yang dapat di nilai dengan
uang, menurut pasal 833 yang dapat di wariskan adalah hak milik atas segala
barang, segala Hak dan segala piutang si yang meninggal namun pasal ini kurang
menyebutkan kata hutang, karena hutang menurut sistim kewarisan perdata dapat
di wariskan juga.
a. Hukum
Waris Adat : Ahli waris dalam hukum adat adalah generasi berikutnnya dari si
pewaris dan di sesuaikan dengan pola sistem kekerabatannya, jika polannya
adalah parental maka kedudukan antara laki-laki dengan perempuan adalah
seimbang, jika polannya Patrilineal maka silsilah yang di lacak dari keturunan
laki lakim dan jika Matrilineal adalah kebalikan dari Patrilineal.
b. Hukum
waris Islam : Ahli waris hannyalah yang
mempunnyai ikatan darah sesuai dengan surat An-Nisa dan Al-Anfal, dan yang
mempunnyai hubungan perkaeinan dan Nasab.
c. Hukum
waris Perdata : Menurut BW pasal 836
syarat agar ia dapat menjadi ahli waris apabila ia telah lahir dan hidup namun
ada pengecualiannya di ps.2 BW bayi yang masih ada dalam kansungan di anggap
telah ada apabila kepentingannya menghendaki, kepentingan yang di maksud di
sini adalah dalam hal pewarisan.
BAB III
KESIMPULAN
Dalam hukum waris adat di Indonesia itu
mempunyai corak sendiri berbeda dengan hukum waris islam atau hukum waris
barat. Peralihan harta kekayaan pada hukum waris adat tidak memandang pewaris
sudah meninggal dunia atau masih hidup. Sehingga hukum waris adat dipandang
sebagai peralihan harta kekayaan dari suatu generasi kepada keturunannya tanpa
memperhitungkan sudah meninggal atau masih hidupnya pewaris. Berbeda dengan hukum Waris Islam dan Hukum
Waris Perdata pewarisan terjadi sebagai akibat dari adannya kematian.
DAFTAR
PUSTAKA
Bakry,
Hasbullah. 1990. Pedoman Islam di
Indonesia. Jakarta: Penerbit Universitas
Indonesia (UI Press).
Hadikusuma,
Hilman. 1990. Hukum Waris Adat. Bandung:
PT. Citra aditya Bakti.
Soekanto, Soejono.1986. Hukum Adat Indonesia. Jakarta: CV. Rajawali.
Sudarsono. 1991. Hukum Waris Dan Sistem Bilateral. Jakarta: PT. Melton Putra.
Langganan:
Postingan (Atom)